Iya ,aku
tak tau benar maksud dari makna “jangan tunggu” yang Mas Hafwan katakan, aku
tak ingin berbesar hati, tak ingin menduga duga terlebih lagi
mengharapkan,sekalipun itu suatu yang baik, tetap saja berharap pada selain
Sang Maha Pemilik Harapan itu bukanlah keinginanku.
“Jangan tunggu”
“jangan tunggu”, aku terus mengulang ngulang dua kata itu di penggalan terakhir
cerita kita yang kubuat 12 mei lalu. Awalnya aku tak ingin mneruskan cerita
kita,ah maksudnya ceritaku sendiri,aku selalu salah mengira bahwa cerita yang
awalnya aku buat di tahun 2014 lalu dan kemudian yang berlanjut lewat do’a do’a
yang setiap hari terpanjat dan beberapa cerita aku tuliskan. Dan setelah cerita
kedua aku tuliskan mei lalu kabarmu tiba tiba menghilang,aku berfikir aku ingin
menghentikannya,tapi entah kenapa setelah siang tadi,aku ingin bercerita lagi.
Iya,siang
tadi. Setelah beberapa bulan kabarmu menghilang,do’a yang menggantung,dan ada
pemeran baru datang di cerita kita,dan aku sudah mulai merasa ingin
menghentikan cerita kita lalu memulai cerita dengan pemeran baru itu,tiba tiba
beberapa hari kamu tulis di status akun BBM mu.
“Aku Disini”
singkatmu. Aku malam itu ingin sekali berkomentar,memulai Chating atau
sekedar menegurmu,tapi aku sudah mulai merasa bahwa kamu menjaga “Jarak”,aku tahu
itu sejak kabarmu menghilang,sapaanmu yang tak lagi hadir di media social,dan
hafalanmu yang terus bertambah, tapi kamu tidak menghindar kontakku nyatanya
belum kamu Delcon di akun bbmmu. Aku masih berhusnudzon,mungkin diam
diam kamu masih menjaga silaturahim kita.
“Kita” kata
yang sangat ingin aku ucapkan suatu hari nanti ketika ijab telah di qabul ketika
aku halal untuk mencium tanganmu dan kamu mengecup keningku,ketika itu kata “Kita”
bukan lagi sebuah mimpi tapi hal biasa yang akan terus menghiasi telingaku
ketika kau ucap merdu setiap saat. Namun nyatanya ini masih sebuah mimpi.
Cerita kali
ini aku buat dengan berbeda,dengan gaya bahasa yang berbeda dan tentunya alur
yang berbeda,sebenarnya bukan karna perasaanku yang sudah berbeda tapi mungkin
saja. Karena sejak aku tahu,semakin bertambah hafalanmu aku merasa semakin jauh
jarak yang dulu aku rasa hanya sebuah dinding dari dua tempat yang berbeda
sekarang jarak juga merupakan atap atau teras yang memisahkan lantai satu dengan lantai tujuh,kamu di lantai
tujuh dan aku masih di lantai satu,ah tidak mungkin kamu sudah lantai
kesekianpuluh dengan keshalihanmu sebagai penghafal quran sedang aku masih saja seorang muslimah dhoifah yang
tak mampu mencoba memantaskan diri dengan baik,mungkin jika suatu saat kamu
sudah hafal 30 juz,aku masih di juz 30,aku malu.
Ditambah kabarmu
yang menghilang,menenggelamkan jarak yang tadinya menggantung,menjaga hati
mengistiqomahkan diri sebagai jomblowan luar biasa. Bahkan saking shalehnya,menegurpun
kamu tak berani,aku tahu itu. Dan berusaha yakin dengan dugaanku.
Siang tadi
setelah satu hari sebelumnya,undangan pernikahan kakamu datang kerumahku yang
ketika itu aku begitu terkejut karna yang aku baca bukan nama calon
pengantin,melainkan nama Ayah Ibumu,mimpi buruk suatu hari yang lalu tentang
kamu yang menikah dengan orang yang kukenal sekelebat melewat difikiranku,aku
tak ingin membuka halaman dimana nama calon pengantin ditulis,karena saat itu
aku takut namamu “Hafwan Kafil Halim” terpampang dengan calon pengantin
perempuan.jika itu terjadi aku akan mengalami galau berbulan bulan menangis
sepanjang malam dannnn, Ah ini terlalu dramatisir.
Dan sampai
akhirnya aku buka halaman itu,aku tersenyum lega yang kubaca nama kaka perempuan
yang tertulis “Ah Barakallah teh” bisikku dalam hati. Kamu masih jomblo,aku
sedikit bahagia,terlebih ketika aku tahu malamnya kamu menulis status yang
artinya kamu sedang berada di kota kita,aku sangat ingin ikut ibu ke kondangan,niatku
memang sedikit lain karna selain mendoakan pengantin dan silaturrahmi niat
utamaku tak lain ingin bertemu dengan mu.
Siang tadi
sebelum berangkat tepatnya pukul 11.00 aku berusaha berdandan dengan baik tapi
masih dalam batas sederhana,aku pakai gaun hijau muda favoriteku lalu
aku pakai khimar motif bunga bunga dengan warna peach ada warna hijau
dibagian motif daunnya,menyeimbangkan. Entah mungkin aku sedang kasmaran kali
ketiga pada pertemuan ketiga kita,aku memakai khimar motif bunga sebagai simbol.
Aku memakai sedikit polesan lipstick dibibirku,aku malu sendiri melihat
tingkah polahku yang aneh,tapi masih wajar.
Aku berangkat
dengan perasaan hati yang tak bisa ku gambarkan,detik detik ke tempat
mu,seperti biasa jantungku berdetak lebih cepat seperti sebelum sebelumnya kita
bertemu selalu seperti itu,aku tarik nafas dan….
Kamu. Iya kamu
memakai batik biru tosca menggendong keponakanmu yang cantik,aku melihatmu. Tepat,
aku melihatmu beberapa senti dari pandanganku “Kamu ganteng Mas” desahku dalam
hati,lalu menundukkan pandanganku. Dalam bayanganku kamu pun sama melihatku
dengan gaun dan khimar yang cantik kemudian kamu tersenyum dan berbisik dalam
hatimu “Kamu juga hari ini cantik Humairaaaa” ahh,imajinasiku kacau.
Setelah itu
beberapa kali bayanganmu,bukan. Maksudnya ragamu bolak baik beberapa meter saja
tepat didepan kursi makanku,kamu sesekali menolehkan wajahmu kearahku tapi
ketika aku melihatmu kamu sudah menunduk atau menoleh kearah yang lainnya.
Pertemuan itu,aku
ingin lebih lama disana,lebih sering melihat wajahmu,lebih dekat lagi
memandangmu,atau bahkan kita bisa sampai duduk berdua berbicara,ah atau sekedar
kamu menyapaku “Ukht….” Katamu dalam bayangku sambil tersenyum. Tapi nyatanya
tidak,akhirnya setelah sekian menit makan dan silaturahmi memberikan selamat
pada kakakmu,aku harus pulang bersama ibu. Saat aku pulang,aku sempat lewat
percis hanya beberapa inci saja ditempatmu duduk,tapi sepatah katapun kamu tak
menyapaku,aku kecewa.
Tiba tiba
beberapa obrolan ibu ibu pengajian tamu undangan di resepsi pernikahan kakakmu
terdengar di telingaku ketika hendak pulang.
“Neng Laila
itu nikahnya sudah hafidz 30 juz,suaminyapun sama,mashaAllah yaaa yang ganteng
yang cakep hafidz hafidzah Allah pertemukan dan kemudian disatukan pula oleh
Nya,benar ya Wanita yang baik untuk laki laki yang Baik,itu memang Mutlak”
Aku terharu,mendengar
itu,tapi ketika itu pula aku malu dan sangaaaat merasa tidak pantas,menantikan
cinta dari kamu yang nantinya seorang Hafidz,aku rasa aku tidak pantas
untukmu,kamu pantas dan berhak mendapat dan mencari calon istri yang pantas
untukmu.
“Aku Mundur”
kataku dalam hati ketika sampai dirumah,dan tanpa disadari air mata menetes
tepat dipipi sebelah kanan yang kemudian membasahi sedikit khimar bagian pipi.
Aku berusaha
menghapus tangisku,tarik nafas. Lalu aku membuka Novelnya bang Fahd –Jodoh- untuk
sekedar menghilangkan galau aku baca ulang bagian Penantian. Di awal bab
Bang Fahd menulis ini,kutipannya sering dan senang aku baca ulang
“Tentang
Jodoh,aku tak punya kuasa untuk menyalahkan keyakinan dalam hatimu, aku bisa
membuktikan bahwa aku mencintaimu,tapi aku tak punya bukti apapun bahwa akulah
jodohmu…”
Sayangnya aku
berbeda dengan Sena pemeran utama dalam novel itu,aku tidak mampu
membuktikan bahwa aku mencintaimu,kata cinta yang belum mampu aku ucapkan aku
harus simpan dalam dalam,lalu menguburnya dan membiarkannya menghilang dan
mati.
Cinta ini
tidak pantas untukmu,aku harus ikhlas melepasmu walaupun nyatanya aku belum
pernah sekejap pun menggenggammu,kamu bukan milikku dan bukan untuk aku miliki.
Aku harus ikhlas. Ikhlas.
Entahlah apa
ini pertemuan terakhir kita,atau cerita terakhir kita. Maksudku cerita
terakhirku tentang aku yang mengagumimu yang bermimpi suatu saat menjadi “kita”.
Esok lusa mungkin berbeda,Allah yang tahu jalan cerita,tapi aku yang
memerankannya,dan memilih peranku dan ceritaku. Mungkin dengan pemeran baru itu
seseorang yang masih belum aku ceritakan,atau mungkin masih dengan kamu.
Tapi tetap,kaliketiga
kita bertemu aku sudah ikhlas melepasmu.
Kau dan aku tak bisa bersama
Bagai syair lagu tak berirama
Selamat tinggal kenangan
denganku
Senyumku melepaskan kau pergi
~
Bersama
sore hari yang mendung,segelas teh manis yang hambar dan rindu yang terobati,
lagu dari Cakra Khan Mencari Cinta sejati seakan menutup cerita kita. Menghentikannya.