- KELIRU-
OLEH: WIDY
“Soal perasaan kadang kita perlu melibatkan otak kiri agar
hasilnya tak keliru”
Aina mengetik kalimat itu di note handphone nya yang sedari tadi masih dalam genggaman. Ditemani
headset dengan playlist album Crazy Love-nya Michael Buble. Prosa yang
ia niatkan untuk postingan #ceritahariancallange-nya itu tak rampung-rampung.
Ia malah memaknai kalimatnya sendiri. Sedangkan mocca late disampingnya
sudah hampir habis, dan ia masih saja nyaman dalam ke-stuck-kannya duduk di ruangan ternyaman di rumahnya, sebuah ruangan yang seperempatnya padat oleh buku
dengan dua buah kursi didalamnya.
Atmosfer lengang di ruangan itu terasa kuat, sekali-kali
suara ‘Sssshh’ nafasnya Aina menemani suasana lengang itu. Aina terus memaknai
kalimatnya sendiri, menyusuri ruang pikir nya dalam-dalam. Ia ingin sekali
melibatkan otak kiri nya dalam hal ‘perasaan’ tapi nyatanya tak berhasil. Seorang pria yang senang ia panggil ‘Manis’
masih saja berlalu lalang dalam ruang khayalnya.
Ia sangat ingin menulis, tapi ia selalu saja
tiba-tiba stuck ketika yang muncul
dalam ruang imajinasinya ujung-ujungnya si ‘manis’.
“Sebal ! kenapa harus si Manis?” gerutunya dalam
hati.
***
Tiru saja Aina, kita panggil dia “Manis”. Selain seorang pengusaha muda ia juga seorang
pejuang subuh, pecinta orangtua, peyayang adik-adik pokoknya ia pria tulen yang
sangat wajib di kembangbiakkan. Pribadi yang mempunyai daya pikat yang begitu
rupawan bagi pandangan wanita, ia termasuk lelaki yang beruntung dalam hal ini.
Yang dikagumi banyak perempuan tak
terkecuali Aina, temannya sendiri.
Sejak kurang lebih empat tahun yang lalu mereka
berteman baik, Aina baru sadar kalau akhir-akhir ini ia mengagumi temannya
sendiri, bukan kagum biasa tapi entah sejak
kapan tepatnya, tiba-tiba
kagumnya berubah menjadi hasrat rasa
ingin memiliki pada teman yang kerap ia panggil ‘Manis’.
Dalam hal petak
umpet perasaan, Aina sangat jago, termasuk menyembunyikan perasaanya pada
si Manis. Tak ada seorangpun yang tau bahwa dia sedang menyukai temannya
sendiri. Rasa suka yang semakin hari
semakin timbul bersamaan dengan sedikit malu membuat Aina berharap lebih jauh.
Kemudian Aina mulai menyangkut pautkan apa-apa
tentang Manis dengannya. Sesederhana apapun itu. Semisal komentar yang intens
di SnapWhatsApp-nya, tatapan si Manis, panggilan khusus untuknya, hingga nasihat
yang Manis berikan.
“Aina....perempuan itu jangan terlalu sering memajang
poto di media sosial!” kata Manis suatu hari
“Nasihat itu kan tanda cinta, jadi ketika kamu
menasihatiku, berarti....?” tanyanya dalam hati.
Seulas senyum
yang tergurat dibibirnya bertahan hingga tiga puluh detik lamanya.
Matanya rapat memberi guratan baru dipipi, pelengkap senyumannya.
***
“Ya Allah pokoknya tambahkan keyakinanku padanya.”
Diam diam Aina melapalkan nama ‘Manis’ dalam istikhorohnya sedikit memaksa.
Hari-hari setelah istikhoroh malam itu, Aina merasa
keyakinan pada pria yang tak lain temannya itu semakin kuat. Ia merasa bahwa
Manis memang pelabuhan terakhir masa penantiannya selama ini.
Ia semakin rajin saja melapalkan nama ‘Manis’ dalam
do’anya, kemudian semakin bertambah pula keyakinannya. Hari- hari nya pula di
bersamai dengan pengharapan yang semakin mengokoh dalam hatinya. Setiap kali ia
bertemu bahkan hanya berpapasan, Aina seringkali mati gaya atau malah mendadak
linglung.
“Na, pa kabar?”
“...eungg Gimana a ?”
“Skip ah
kamunya ngelamun”
Dibanding mengolah pertanyaan yang dilontarkan, ia lebih
tertarik menyibukkan diri menatap gerak-gerik si Manis. Bukan sekali saja, tapi
kerapkali kejadian seperti itu ia alami. Dan Aina tetap saja egois dengan
perasaanaya. Ia tetap bersikeras menyembunyikan perasaanya. Hingga suatu hari,
niat hati ingin ia curhatkan perasaannya pada sang guru, tetiba diwaktu yang
sama something occured. Manis
mengatakan sesuatu padanya.
***
“Selalu.. saja, dalam hal perasaan perkiraan ku tak
pernah tepat sasaran. Kayaknya benar deh, aku perlu otak kiri untuk ku libatkan dalam
mengolah hati. Otak kiri berpikir logis. Tak pernah ada ‘mungkin’. Kalau benar
ya benar, kalau salah ya salah.” Aina mengumpat pada dirinya sendiri ia kesal
pada hatinya. Sampai ia tak mendengar suara decit pintu yang terbuka,
“Siapa yang salah Na ?” Seorang perempuan sebaya
dengannya menghampiri, kemudian duduk di sofa tepat didepan dari tempat
merenungnya Aina.
“Aku harus banget yaaa curhat?” Aina masih menaruh
kedua tangannya di bawah dagu, diatas bantal dengan badan menelungkup diatas
kasur nyamannya. Ia tak perduli dengan wajah yang kusut dan kerudung yang tak
beraturan.
“Menurutmu?”
“Aku sedang keliru Den...”
“Dengan apa? siapa ?”
“Dengan hasil istikhorohku!”
Dena adalah salah satu sahabat terdekatnya Aina,
lama sebelum Aina kenal dekat dengan si Manis. Dena telah membersamainya sedari
sekolah dasar. Selain seperti prudential yang
always listening always understanding,
Dena juga guru spiritualnya Aina. Penasehat termuda terbaik sepajang masa
keduasetelah ibunya.
“Aina... Perihal pilinan doa yang kamu panjatkan tak
ada satupun yang salah, hanya saja kamu simpan ‘lebih’ cinta disana, hingga
ketika sasaranmu melesat jauh kecewamu besar. Padahal jika kamu simpan
‘cukup’cinta pada setiap apapun yang kamu lakukan, pasti gak akan keliru.”
“Jadi menurutmu?”
“Kamu juga, bukan istikhorohmu yang salah. Aku
ulangi, kamu hanya terlalu berharap pada manusia, bukan pada pemiliknya. Jadi, pertanyaannya
apakah yakinmu itu datang dari Allah atau dari pengharapanmu? Tapi itu memang
fitrahnya manusia yang bernafsu, aku juga sering seperti itu.”
Mendengar penuturan dari penasehat terbaiknya, Aina
tak bisa menahan lebih lama air yang terkantung penuh di kelopak matanya, pelukan
Dena selalu yang terbaik. Walau Dena tak tau detail bagaimana masalahnya, tapi
ia selalu paham yang Aina rasakan.
***
“Ain.... aku lagi mau niat taaruf sama seseorang,”
“Kamu doain yak, Na”
“Dia kayaknya emang pelabuhan terakhir aku deh”
“Aku dah yakin mau kerumahnya”
“Bales dong Aina! jangan cuman di- read!”
“Minta saran nih...!”
Bunga-bunga yang sebelumnya tengah mengembang di
hatinya, mendadak layu. Nafasnya entah didetik keberapa detaknya tak beraturan,
ditambah rasa sesak tiba-tiba menyeruak didadanya. Ia mencoba memalingkan
pandangan keatas entah kemana perhatiannya berpusat, yang pasti ia hanya berusaha untuk menahan buliran air yang
hampir tumpah di kelopak matanya. Ponsel
yang masih dalam genggamannya terus menerus berdering. Notifikasi Chat dari si Manis terus menerus
berdenting. Kemudian Aina memalingkan kembali pandangannya pada ruang Chating WhatsApp.
“Ohhh....”
“Kok, Oh doang? Menurut kamu gimana?”
“Eh bentar - bentar a, Aina lagi ngerjain sesuatu.
Nanti sore Aina balas yaaa..tapi, pokoknya Aina dukung aa, SEMANGAT!” Aina
mencoba menghindar untuk menjaga hatinya yang benar-benar tengah rapuh. Ia kemudian
mematikan ponselnya sepanjang hari.
“Bego bener sih Lo,Na!” ia mencibir dirinya sendiri.
“Kenapa hasil Istihkorohku bisa melesat sih?”
“Pokoknya aku gak akan pernah lagi melapalkan nama ‘siapapun’
dalam doaku!” gerutunya pada diri sendiri.
Ketika ia menghidupkan kembali ponselnya, ia
berusaha menghibur diri mengalihkan rapuhnya untuk sekedar membuka beranda
instagram.
“Hidup akan
membawa kita pada kenyataan yang tak sesuai rencana. Disanalah kita akan
belajar bahwa tak setiap harapan harus terwujud.”
Sebuah snap
gram yang diposting oleh seorang Author yang akrab Aina panggil Bang Fiersa mencuat di layar ponselnya. Nafas nya
pelan-pelan mulai kembali berhembus normal.
“Oke, gak semuanya Na, wake Up !!!”
Ia berusaha mengeringkan basah dipipinya. Sedikit dramatisir.
***
Aina berusaha melengkungkan bibirnya, mengambil
nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya,
“Karena Otak
kiri selalu berkata tentang logika. Dan Perasaanpun butuh logika sebagai
penyetara kekeliruanmu. Logika itu selau berbicara kepastian bukan kemungkinan. Jadi, ketika
suatu saat datang lagi ‘harapan’ dari pada perasaan, maka yang datang adalah
harapan ‘pasti’, hasil pembuahan dari logika dan perasaan dengan cukup cinta” lanjut Aina di ruang note ponselnya.