Pagi-pagi sekali ponselku sudah ramai ! Berseling beberapa detik setelah aku mem-posting tentang pentingnya pengembangbiakan lelaki yang rajin ke mesjid, satu demi satu chat berdatangan. Dan satu diantara denting-denting WhatsApp itu yang sejenak membuatku tertegun. Seulas senyum lantas tergurat begitu saja saat mataku menangkap figur yang khas di sana. Sosok berambut hitam tebal dengan janggut telah bertengger di sudut kiri atas layar ponselku.
“Sekalian
di stek, cangkok dan kloning”
Tak
sadar seulas senyum menggurat panjang di kedua bibirku, ada hal yang seharusnya
biasa saja, tapi hati memaksa untuk tidak biasa. Eimmm. Lelaki itu.
***
Aku
gadis Enegik pecinta langit serta
apa-apa yang digantungkan diatasnya; seperti awan, matahari, bulan, bintang, dan
lain sebagainya. Oke, Panggil saja aku “Aku”. Tak lama setahun kebelakang ini
aku baru saja mengalami patah hati yang sangat drama dalam hidup. Suatu hari
aku sempat saling menyimpan rasa dengan seseorang, saling komitmen, oke ini
norak banget, dan kemudian si seseorang itu pergi tanpa pamit, sampai akhirnya
hati yang awalnya tumbuh subur dan berkembang patah sepatah-patahnya, layu
kemudian mati, dan ini kisah terdrama yang pernah aku alami. Yang kemudian
mereformasi diriku, dari gadis energik jadi gadis dengkik[1]
Lupakan
soal itu.itu tentang satu tahun kebelakang. Tidak untuk hari ini. Sore ini,
seperti biasa aku yang baru saja pulang kuliah menikmati setiap ruas jalan di
pusat kota yang akrab disebut alun-alun. Gerobak Goyobod , tahu Bulat, tahu balut, Seblak, kelapa muda dan lain
sebagainya yang menderet di trotoar jalan, sedikitpun tidak menarik
perhatianku. Aku lebih tertarik pada langit sore ini. Walau jingga pada senja
yang dirindukan sore tak muncul jua, kurasa penutup hari sore ini cukup dengan
awan putih yang kemudian pelan pelan
menjadi abu abu, pekat, sampai gelap.
Sebelum
langit benar-benar menghadirkan bulan, suasana sore di alun-alun sedikitnya
masih hidup, bangku bangku disekitar Taman Alun-Alun memang sedang tak
berpenghuni, tapi ruas ruas jalan disekitarnya ramai dengan orang
yangberlalu-lalang .
Lalu
untuk mengisi kehampaan suasana sore ini , aku duduki salah satu bangku di
pinggir Taman. Bukan untuk melanjutkan drama yang pernah aku perankan. Maksudku
bukan untuk mengenang apa-apa yang aku rindukan dulu. Aku hanya ingin lebih
lama menikmati sore ini.
Aku
cukup bahagia, menjalani hari dengan tanpamu,aku sudah terbiasa. Tenang saja, aku
sudah sadar bahwa,“Kadang orang yang kita
cintai memang diciptakan untuk dilupakan”[2] itu sangat berlebihan memang, namun
intinya mungkin kita benar benar harus tau pentingnya ikhlas dalam hidup ini.
Sederhananya,
semisal apa yang akan kita makan saja. Jika
tak sampai mulut kita, maka itu bukan milik kita, atau tepatnya tidak Allah
takdirkan untuk kita. Apalagi kita yang pada dasarnya tak memiliki apa apa,
kehilangan bukan hal yang seharusnya kita khawatirkan dengan berlebihan bukan ?
ah lupakan tentang kehilangan itu. Aku sudah tak nyaman hidup dalam masa lalu.
Masih
disore yang sama, Aku masih duduk di bangku
yang sama pula, aku memang pengidap 90 % Ekstrovert tapi, entah mengapa, aku sangat nyaman jika sendiri
seperti ini. Memikirkan banyak hal dan kemungkinan kemungkinan yang mungkin terjadi
dalam hidup kalau kata kids jaman now
ini adalah salah satu kenikmatan yang haqiqi, lalu berimajinasi membuat alur
hidup sendiri untuk menyempurnakannya.
Aku
perempuan yang sudah berkepala dua lebih satu tahun ini, sebenarnya sedang
dilema. Benar-benar sedang dilema. Aku
bingung apakah aku sedang kasmaran atau sedang berhasil melupakan ? dua duanya
memang hal yang baik. Tapi ini benar
benar ujian baru.
Sejujurnya
Saat ini, aku sedang tak ingin kasmaran kepada siapapun. Tapi, hati dengan lancangnya,
tiba-tiba ingin membangun kehidupan dengan lelaki yang benar benar seratus
delapan puluh derajat berbeda kadar shalehnya denganku.
“Oh
Tuhan... Terangkanlahhh”
Aku
benar benar dilema, satu sisi aku bahagia selama satu tahun menghabiskan waktu untuk
melupakan, akhirnya berhasil dengan sendirinya. Tapi, disisi lain aku takut
untuk kasmaran kepada laki laki shaleh itu.
Memang,
saat aku mulai sadar mengaguminya, aku merasa lebih dekat dengan Allah. Aku
lebih merasa tenang. Hanya saja aku tetap takut. Aku takut ibadahku tidak
benar-benar berniat untuk-Nya. Aku takut kedekatanku dengan Allah bukan murni
atas dasar keikhlasan. Walaupun aku mengaku ikhlas.
Karna
nyatanya, bukan hanya samson yang manusia bukan ? aku juga manusia biasa yang
sering khilaf. Aku takut semua ini bukan atas dasar keikhlasan.
Bukankah
ikhlas itu, menghindarkan segala hal kecuali Allah. Segala hal. Aku ulangi
“Segala hal!” aku benar benar takut. Takut jika suatu saat ia tak lagi pantas ada
dalam doaku, aku takut aku akan amat sangat kecewa dan terpuruk.
Setegar
dan sekuat apapun, wanita tetap manusia perasa. Ia begitu rapuh dan mudah
pecah. Sekali ia retak ia pasti berbekas. Terlebih aku sudah mengalami kisah
terdrama dalam hidupku, aku tak mau menambah drama-drama yang lainnya.
Baru
kali ini, aku merasa tersiksa dengan kasmaranku ini. Aku yang awalnya hanya
mengenal ia sebatas teman, tiba tiba benar-benar mengagumi dalam diam. Ini
sangat menggangguku. Aku tak tertarik dengan istilah teman jadi cinta. Ini
membuat hidupku sedikit rancug. Banyak rasa segan dan sangat tak nyaman menatap
seseorang. Karena apa daya, ketika aku
sekejap menatapnya, nafasku seolah berhenti. Dan ini adalah kasmaran yang
paling tersiksa. Terlebih aku juga merasa aku yang sangat merasa berharap sama
dia.
Sampai
ada waktu dimana aku sering mati gaya hanya karna hal kecil, semisal dia
bilang,
“Heyyy...”
Dan
dengan wajah polos, aku cuma melongo, dan oke itu gaya yang absurd banget. Terus dia dengan wajah
pura-pura tidak tahu, melanjutkan percakapan.
Awalnya
aku merasa “Ah, ini kayaknya aku yang ngarep deh” Tapi, semakin hari aku
ngerasa puzzle demi puzzle yang aku kumpulkan sebagai variabel dari pada pendukung Hipotesa awal ku, semakin mengarah kesana.
Sesederhana,
kita yang kadang saling curi tatap, atau saling senyum mesem – mesem hanya
karna candaan yang menurut orang lain gak lucu tapi hanya kita yang
cengengesan. Terus dia yang sering banget mengapresiasi snapwhatsapp-ku yang seringkali mengarah pada pintu-pintu
pengharapan. Semisal, suatu hari aku menulis...
“Pintu rezeki itu ada sepuluh, satu untuk
pegawai sembilan untuk saudagar, oke Mau dapet saudagar ah biar dapet rezekinya
sembilan pintu”
Terus
dia appreciate banget buat ngomen
yang bikin aku baper”Alhamdulillah aku
calon saudagar”
Dan
itu adalah ke-geeran yang haqiqi yang sangat menakutkan.
Pokoknya
banyak ketakutan yang datang, rasa khawatir akan ibadahku, rasa berharap yang
semakin dalam ketika doa disematkan, dan masih ada berbagai macam keterpurukan
yang terjadi pada jiwa yang dirundung kasmaran ini.
Ah,
tersiksa. Dan sayangnya aku seorang perempuan,makhluk yang hanya bermodalkan
doa dan doa. Sempet berfikir haruskah aku sampai kata mengeluarkan kalimat “dare you marry me ?” atau “Maukah kamu
menikahiku?” Ah,aku bukan Siti Khodijah. Aku hanya muslimah dhaifah yang
berharap memiliki lelaki shalih itu.
Finally,
dari hati yang dirundung kasmaran timbul pertanyaan “Adakah lengan lelaki itu
ingin membersamaiku untuk membangun rumah dan menaiki tangga menuju syurga?”
Lagi
lagi aku mesem-mesem sendiri.
Sangat
disayangkan langit semakin abu pekat. Dan ini tidak memungkinkan aku, untuk
meneruskan percakapan pribadi bersama sore hari.
***
Suatu
sore, mungkin dilema ini berakhir. Kemudian sampai suatu waktu aku mengatakan,
“Ah Ya Allah.... ini kaya mimpi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar