DASAR-DASAR FILSAFAT
Ø MANUSIA ADALAH
BINATANG YANG BERBICARA/BERPIKIR.
Ø BERBICARA/BERPIKIR ADALAH BERTANYA.
Ø BERTANYA ADALAH
MENCARI JAWABAN.
Ø MENCARI JAWABAN
ADALAH MENCARI KEBENARAN.
Ø MENCARI KEBENARAN
TENTANG TUHAN, ALAM DAN MANUSIA.
TEORI KEBENARAN
(THEORY OF TRUTH)
I. TEORI KOHERENSI/KONSISTENSI
(The Consistence/Coherence Theory of Truth):
1)
Kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai
benar.
2)
Suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh
putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui
benarnya.
Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si
Fulan pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai
puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”.
Teori
ini dianut oleh mazhab idealisme. Penggagas teori ini adalah Plato (427-347
S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya dikembangkan oleh Hegel dan
F.H. Bradley (1864-1924).
Kritik terhadap teori ini adalah “tidak mungkinkah terdapat kumpulan
proposisi yang koheren yang semuanya salah”?
2. TEORI KORESPONDENSI
(The
Correspondence Theory of Thruth):
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang
sesuatu dengan kenyataan sesu-atu itu sendiri. Contoh: “Ibu kota
Republik Indonesia adalah Jakarta”.
Teori ini digagas oleh Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya
dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Penganut teori ini adalah mazhab
realisme dan materialisme.
Kritik: how can we compare our
ideas with reality? Apabila sudah diketahui kenyataan mengapa perlu
dibuat perbandingan, padahal kebenaran sedang dimiliki?
3. TEORI PRAGMATIS
(The
Pragmatic Theory of Truth):
“kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Kata kunci
teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability),
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).
Pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce (1839-1914) dan William
James.
Kritik:
betapa kabur dan samarnya pengertian berguna (usefull) itu.
INSTRUMEN UNTUK
MENCARI KEBENARAN
- ILMU
PENGETAHUAN
- FILSAFAT
- AGAMA
ILMU PENGETAHUAN
Pengertian
Ilmu Pengetahuan adalah pengetahan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu,
yaitu: sistematik, rasional, empiris, eksperimental, umum dan kumulatif.
Objek Ilmu
Pengetahuan
- Objek
materia: seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek
penyelidikan suatu ilmu.
- Objek
forma: objek materia yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan
ilmu satu dengan ilmu lainnya, jika berobjek materia sama.
Pada garis besarnya, objek ilmu pengetahuan
ialah alam dan manusia.
Cabang Ilmu
Pengetahuan
Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap yang seharusnya
dimiliki oleh setiap ilmuwan dalam melakukan tugasnya (mempelajari, meneruskan,
menolak/menerima serta mengubah/ menambah suatu ilmu).
Sikap yang seharusnya dimiliki oleh ilmuwan
adalah:
1. skeptif (ragu dan sanksi),
2. penasaran (minat, hasrat dan semangat),
3. objektif (menghindari sikap subjektif,
emosi, prasangka),
4. jujur intelektual
5. lain-lain (rendah hati, lapang dada,
toleran, sabar dsb.).
Fungsi Ilmu
Pengetahuan
Fungsi ilmu pengetahuan adalah:
- Deskriptif,
- Pengembangan,
- Prediksi,
- Kontrol.
Tegasnya, fungsi ilmu pengetahuan adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dalam pelbagai bidangnya.
Metode Ilmu
Pengetahuan
- Koleksi
- Observasi
- Seleksi
- Klasifikasi
- Interpretasi
- Generalisasi
- Perumusan
hipotesis
- Verifikasi/pengujian
- Evaluasi/penilaian
- Perumusan
teori
- Perumusan
dalil/hukum.
Batas dan relativitas
ilmu pengetahuan:
- Tidak
semua persoalan manusia dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.
- Nilai
kebenaran ilmu pengetahuan itu “positif” (sampai saat ini) dan “relatif”
(tidak mutlak).
- Masalah-masalah
yang di luar jangkauan ilmu pengetahuan diserahkan kepada filsafat.
FILSAFAT
1. PENGERTIAN
FILSAFAT
Secara bahasa, kata filsafat (bhs.
Yunani) berasal dari kata philo dan sofia. Philo artinya cinta, sophia
artinya hikmah, kebijakan. Jadi filsafat berarti cinta kebijakan (the love
of wisdom).
Walaupun kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani, dan orang Yunani Purba sudah mempunyai tradisi filsafat 500 tahun S.M.,
tidaklah berarti hanya orang Yunanilah yang sudah berfilsafat. Azad (dalam
Radhakrishna ed., 1952: 14) menjelaskan: “kita mengetahui bahwa Mesir dan Irak
telah mengembangkan tingkat peradaban yang tinggi jauh sebelum Yunani. Kita pun
mengetahui bahwa filsafat Yunani yang paling awal dipengaruhi oleh hikmah Purba
Mesir. Plato dalam tulisan-tulisannya menimba hikmah para pendeta Mesir
dengan cara yang menunjukkan betapa otoritas mereka itu sebagai sumber
pengetahuan yang tidak dapat disangkal. Bahkan Aristoteles maju lebih
jauh lagi dan mengatakan bahwa para pendeta Mesir Purba adalah para filsuf
pertama di dunia ini ….” Selain Mesir Purba, yang memiliki tradisi filsafat
lebih tua daripada Yunani adalah India dan Cina.
Secara istilah arti filsafat adalah:
- “ilmu
istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud di luar
jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
- Hasil
daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara radikal
dan integral serta sistematik hakikat segala yang ada
(Tuhan, alam semesta dan manusia).
Objek Filsafat:
- Objek
Materia: segala sesuatu yang menjadi masalah filsafat, segala sesuatu yang
dimasalahkan oleh atau dalam filsafat; yakni segala yang ada yang meliputi
hakikat Tuhan, alam dan manusia.
- Objek
Forma: mencari keterangan yang sedalam-dalamnya (radikal) tentang objek
materia filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkn ada).
TUJUAN, FUNGSI DAN
GUNA
Tugas filsafat bukanlah sekedar mencerminkan
semangat masa di mana kita hidup melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat
adalah kreatif, menetapkan nilai, menempat-kan tujuan, menentukan arah dan
menuntun pada jalan-jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan
kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak ma-nusia-manusia yang
menjadikan penggolongan-penggo-longan berdasarkan nasional, rasial dan
keyakinan ke-agamaan mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat
tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang
lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Hubungan Ilmu
Pengetahuan dan Filsafat
- Titik
singgung
1)
historis: pada mulanya filsafat identik dengan ilmu pengetahuan; filsuf identik
dengan ilmuwan.
2)
objek materia ilmu ialah alam dan manusia; objek materia filsafat ialah alam
dan manusia (serta masalah ke-Tuhan-an).
2. Perbedaan
1)
objek forma ilmu:
mencari keterangan terbatas sejauh terjangkau pembuktian
penelitian, percobaan dan pengalaman
manusia; objek forma filsafat: mencari keterangan sedalam-dalamnya, sampai ke
akar persoalan, sampai ke sebab-sebab
dan ke “mengapa” terakhir, sepanjang kemungkinan yang ada pada akal-budi
manusia berdasarkan kekuatannya.
2)
objek materia filsafat:
(1)
masalah Tuhan, yang sama sekali di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa,
2) masalah alam, yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa,
3) masalah manusia, yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
Cabang-cabang
Filsafat:
- Metafisika:
filsafat tentang hakekat yang ada di balik fisika, tentang hakekat yang
bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
- Logika:
filsafat tentang pikiran benar dan salah
- Etika:
filsafat tentang perilaku baik dan buruk
- Estetika:
filsafat tentang kreasi indah dan jelek
- Epistemologi:
filsafat tentang ilmu pengetahuan.
- Filsafat-filsafat
khusus.
Aliran-aliran
Filsafat:
- Aliran
Metafisika
- Aliran
Etika
- Aliran
Teori Pengetahuan
METAFISIKA
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, Ta
Meta Ta Phisica yang berarti sesudah, melampaui, atau di belakang realitas
fisik. Jadi, metafisika berarti ada melampaui realitas fisik. Sesuatu yang ada
di balik realitas fisik atau melampaui realitas fisik disebut hakikat.
Karena filsafat, secara keseluruhan,
memelajari hakikat, maka metafisika selain sebagai bagian dari filsafat, juga
dapat dipandang sebagai suatu metode bagi filsafat, yaitu bagi semua bagian
filsafat.
Persoalan dasar yang dipelajari Metafisika
ada dua, yaitu: ada dan substansi.
ADA
Ada sesuatu yang ada dan ada sesuatu yang
tidak ada. Dengan demikian, baik yang ada maupun yang tidak ada keduanya ada.
Segala sesuatu yang ada memiliki ciri-cirinya
yang hakiki. “Apakah ciri-ciri hakiki dari segala sesuatu itu”. Metafisika
menyatakan bahwa ciri hakiki dari segala sesuatu itu yang ada itu adalah “ada”,
sebab “ada” ini merupakan dasar dan sebab kesesuaian di antara semua yang ada.
Ada meemiliki tingkatan: tingkat rendah,
menengah, tinggi, dan mutlak/tertinggi.
Ada tingkat rendah: benda-benda yang adanya
itu hanya sekedar ada.
Ada menengah: hewan yang adanya dikuasai oleh
nalurinya.
Ada tingkat tinggi: manusia yang dirinya
menyadari keberadanya.
Ada dalam tingkat mutlak/tertinggi: sumber
dari segala yang ada, tidak berubah, causa prima, pasti adanya, dan
abadi (Tuhan).
SUBSTANSI
Secara umum substansi dapat disebut benda.
Persoalan yang timbul adalah: “Apakah benda itu dapat dibedakan dari
sifat-sifatnya?” “Apakah di belakang sifat-sifat yang berubah itu ada sesuatu
yang tidak berubah?”
Sepotong malam yang diambil dari sarang lebah
dipanaskan di atas api. Kita lihat sifat-sifatnya, seperti bau, rasa, warna,
dan bentuknya berubah. Namun kita tahu dan akan mengatakan bahwa malam tersebut
adalah malam yang tadi.
Dengan demikian, dalam pikiran kita terlintas
pada malam itu harus ada sesuatu yang tidak berubah yang tersembunyi (tidak
nampak) di belakang sifat-sifatnya yang berubah itu. Bahkan ketika malam itu
diubah-ubah bentuk dan warnanya. Sesuatu yang tidak berubah dari malam itulah
yang disebut substansi. Substansi berarti sesuatu yang ada pada dirinya
sendiri.
ALIRAN METAFISIKA:
I. KUANTITAS:
1.1 Monisme
1.2 Dualisme
1.3 Pluralisme
II. KUALITAS:
2.1 Tetap:
2.1.1
spiritualisme
2.1.2
materialisme
2.2 Kejadian:
2.2.1
mekanisme
2.2.2
teleologi
2.2.3
determinisme
2.2.4
indeterminisme
I. KUANTITAS
II. KUALITAS
2.1 TETAP
2.1.1 Spiritualisme: hakikat itu bersifat
roh.
2.1.2 Materialisme: hakikat itu bersifat
materi.
2.2 KEJADIAN
2.2.1 Mekanisme: kejadian di dunia ini
berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab akibat.
2.2.2 Teologi: kejadian yang satu berhubungan
dengan kejadian yang lain, bukan oleh hukum sebab akibat, melainkan semata-mata
oleh tujuan yang sama.
2.2.3 Determinisme: kemauan manusia tidak
merdeka dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting, tetapi sudah terpasti
lebih dulu.
2.2.4 Indeterminisme: kemauan manusia itu
bebas dalam arti yang seluas-luasnya.
BEBERAPA YANG DIKAJI
METAFISIKA
- Realitas
benda
- Kosmologi
- Antropologi
- Teologi
REALITAS BENDA
Apakah realitas benda itu sesuai dengan
penampakan-nya (appearance) atau sesuatu yang bersembunyi di ba-lik
penampakan itu? Menjawab pertanyaan itu
muncul 5 aliran, yaitu:
1.
Materialisme: hakikat benda adalah materi.
2.
Idealisme: hakikat benda adalah
ruhani.
3.
Dualisme: hakikat benda ada 2, yaitu material dan immaterial/benda dan
roh.
4. Skeptisisme: ragu apakah manusia mengetahui
hakikat.
5. Agnotisisme: manusia tidak dapat
mengetahui hakikat benda.
KOSMOLOGI
Kosmologi adalah filsafat yang menyelidiki
hakikat asal, susunan, tujuan alam besar, bagaimana ia menjadi, bagaimana ia
berevolusi, dan sebagainya.
ANTROPOLOGI
Antropologi: membicarakan hakikat manusia
dari segi filsafat. Apakah manusia itu? Apa dan dari mana asalnya? Apa akhir
atau tujuannya?
TEOLOGI
Teologi: cabang filsafat yang membicarakan
tuhan dari segi pikiran/akal. Apakah tuhan itu ada? Bukti keber-adaannya apa? Sifatnya,
susunannya, kemauannya? Mengenai hal ini muncul isme-isme:
- Teisme:
monoteisme, triniteisme, politeisme, pan-teisme.
- Ateisme.
- Agnotisisme.
ALIRAN ETIKA:
- Naturalisme
- Hedonisme
- Utilitarisme
- Idealisme
- Vitalisme
- Teologis
ALIRAN TEORI
PENGETAHUAN:
1. Asal dan sumber:
1)
rasionalisme: sumber pengetahuan manusia adalah pikiran/rasio/jiwa manusia.
2)
empirisme: pengetahuan manusia berasal dari pengalaman (yang ditangkap indera)
manusia.
3)
kritisisme (=transendentalisme): pengetahuan manusia baik berasal dari dunia
luar, maupun dari jiwa atau pikiran manusia.
2. Hakikat pengetahuan manusia:
1)
realisme: pengetahuan manusia adalah gambar yang baik dan tepat dari kebenaran,
dalam pengetahuan yang baik tergambarkan seperti sesungguhnya ada.
2) idealisme: pengetahuan itu tidak lain dari
kejadian dalam jiwa manusia , sedang kenyataan yang diketahui manusia itu
seluruhnya berada di luarnya.
EPISTEMOLOGI
“Membicarakan sumber pengetahuan dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan.”
Pengetahuan diperoleh manusia melalui
berbagai cara dan berbagai alat. Ada beberapa aliran tentang ini:
- Empirisme:
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (indera)-nya. John Locke
(1632-1704), yang dianggap sebagai bapak aliran ini, mengemukakan teori
tabula rasa (meja lilin). Maksudnya, bahwa manusia itu pada mulanya kosong
dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
lantas ia memiliki pengetahuan. Sesuatu yang tidak bisa diamati dengan
indera bukanlah pengetahuan yang benar.
Kelemahan
aliran ini adalah:
1)
indera terbatas: benda yang jauh
2)
indera menipu: orang sakit
3)
objek menipu: fatamorgana
4)
indera dan objek: tidak bisa melihat gajah secara keseluruhan.
Kesimpulannya:
empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
2. Rasionalisme
“Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal”. Bapak aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Aliran ini
dapat mengoreksi kelemahan keterbatasan kemampuan indera.
Kerja sama empirisme dan rasionalisme
melahirkan metode sains; dari metode ini lahirlah pengetahuan sains.
Kerja sama indera dan akal
belum mampu memperoleh pengetahuan yang utuh. Ia harus dibantu oleh intuisi.
3. Positivisme
“indera itu amat penting dalam memperoleh
pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen”. Eksperimen memerlukan ukuran yang jelas. Jadi, kebenaran diperoleh
dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah yang
merupakan sumbangan positivisme.
Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte
(1798-1857).
4. Intuisionisme
Tidak hanya indera yang terbatas, akal juga
terbatas. Akal hanya memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya
pada objek itu. Jadi manusia tidak mengetahui keseluruhan objek, tidak juga
memahami sifat-sifat yang tetap pada objek.
ALIRAN-ALIRAN
LAINNYA:
- Eksistensialisme
- Pragmatisme
- Fenomenologi
- Positivisme
- Aliran
Filsafat Hidup
FILSAFAT MORAL
I. Pengertian
1. Etika dan Moral
1.1 Pengertian etika:
Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Secara ringkas, pengertian tadi
bisa disebut sebagai sistem nilai. Sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup
manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Kumpulan asas atau nilai moral atau, disebut juga, kode etik.
Ilmu tentang yang baik dan yang buruk.
1.2 Pengertian moral:
Sama dengan etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Amoral dan
Immoral
Kata “amoral” dalam Concise Oxford Dictionary diartikan sebagai “unconcerned
with, out of the sphere of moral, non-moral”. Jadi, amoral berarti “tidak berhubungan
dengan konteks moral”, “di luar suasana etis”, “non-moral”.
Kata “immoral” dalam kamus yang sama dimaknai sebagai “opposed to
morality; morally evil”. Jadi, immoral berarti “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara
moral buruk”, “tidak etis”.
3. Etika dan Etiket
Etika (ethics) berari moral, etiket (etiqutte)
berarti sopan santun. Dua kata ini memiliki persamaan dan perbedaan makna.
Persamaannya adalah:
Etika dan etiket
menyangkut perilaku manusia.
Baik etika maupun
etiket mangatur perilaku manusia secara normatif; artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Perbedaannya adalah:
1) Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Etiket menunjukkan cara yang tepat atau cara yang diharapkan serta ditentukan
dalam suatu kalangan tertentu.
Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan;
etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh
dilakukan atau tidak.
2) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain
maka etiket tidak berlaku.
Etika selalu berlaku, ada atau tidak ada orang lain.
3) Etiket bersifat relatif.
Etika lebih absolut.
4) Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
Etika menyangkut manusia dari segi dalam.
PERANAN ETIKA DALAM MASYARAKAT
1. Masyarakat
tradisional (homogen dan agak tertutup): nilai-nilai dan norma-norma itu tidak
pernah dipersoalkan. Secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang
berlaku. Individu dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Nilai dan
norma etis dalam masyarakat ini bersifat implisit. Akan tetapi ia bisa menjadi
eksplisit bila nilai itu ditantang atau dilanggar karena perkembangan baru.
2. Situasi etis pada
masyarakat modern ditandai tiga hal:
1) Pluralisme moral
(komunikasi/informasi, transportasi/mobilitas, pariwisata, multinational
corporation, eduducation)
2) Masalah etis baru
(perkembangan iptek, biomedis, manipulasi genetika, reproduksi artifisial)
3) Kepedulian etis
yang universal (globalisasi, LSM, ekologi, HAM).
3. Hubungan
kepedulian etis dengan pluralisme moral (untuk persoalan publik dan pribadi).
SUMBER-SUMBER NILAI DAN NORMA:
1. Agama
2. Kebudayaan
3. Nasionalisme
MORAL DAN AGAMA
Agama mempunyai
hubungan erat dengan moral. Motivasi terpenting dan terkuat bagi perilaku moral adalah agama. Setiap
agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para
penganutnya. Jika dibandingkan pelbagai agama, ajaran moralnya barangkali
sedikit berbeda, tetapi secara menyeluruh perbedaannya tidak terlalu besar.
Atau dengan kata lain, ada nilai-nilai universal yang relatif sama.
Mengapa ajaran
moral dalam suatu agama dianggap begitu penting? Karena ajaran itu berasal dari
Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Ajaran moral itu diterima karena alasan
keimanan. Namun demikian, nilai dan norma moral tidak secara eksklusif diterima
karena alasan-alasan keagamaan. Ada juga alasan-alasan lebih umum untuk
menerima aturan-aturan moral, yaitu alasan-alasan rasional.
Dalam filsafat
moral justru diusahakan untuk menggali alasan-alasan rasional untuk
nilai-nilai dan norma-norma yang dipakai
sebagai pegangan bagi perilaku moral. Berbeda dengan agama, filsafat memilih
titik tolaknya dalam rasio dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya
pada rasio. Filsafat hanya menerima argumen dan alasan logis yang dapat
dimengerti dan disetujui oleh semua orang. Ia menghindari setiap unsur
nonrasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio. Agama
berangkat dari keimanan; kebenarannya tidak dibuktikan, tetapi dipercaya.
Kebenaranyya bukan diterima karena dimengerti, melainkan karena terjamin oleh wahyu.
Bila agama bicara topik etis, ia berusaha memotivasi
dan menginspirasi supaya umatnya mematuhi nilai dan norma yang sudah
diterimanya berdasarkan iman. Bila filsafat bicara topik etis, ia
berargumentasi; ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus
dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional.
Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa; orang beragama
merasa bersalah di hadapan Tuhan, karena melanggar perintah-Nya. Dari sudut
filsafat moral, kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis yang
seharusnya dipatuhi. Kesalahan moral adalah inkon-sistensi rasional.
Dalam dunia yang ditandai pluralisme moral semakin mendesak
kehadiran etika filosofis yang berusaha memecahkan masalah-masalah etis
atas dasar rasio saja.
Pluralisme modern yang menandai zaman ini
sebagian disebabkan adanya etika humanistis dan sekular yang
tidak lagi mengikutsertakan acuan keagamaan. Adanya pluralisme pandangan
etis bukan saja karena adanya pelbagai agama dengan suasana moral yang
berbeda-beda, melainkan juga, dan terutama, karena tembok pemisah antara
pandangan etis orang beragama dengan dan orang sekuler. Jika ingin dicapai kesepakatan
di bidang etis, kita hanya bisa berpedoman pada rasio, sebab sarana
lain tidak dipunyai.
MORAL DAN HUKUM
Hukum membutuhkan
moral. Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa
moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh
mutu moralnya. Karena itu hukum selalu harus diukur dengan norma moral.
Di sisi lain,
moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang saja, kalau tidak
diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat, seperti terjadi dengan hukum.
Walaupun ada
hubungan erat antara moral dan hukum, namun perlu dipertahankan juga bahwa
moral dan hukum tidak sama. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral,
undang-undang yang harus ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis. Dalam
kasus seperti itu terdapat ketidak-cocokan antara hukum dan
moral.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM DAN MORAL
1. Hukum lebih
dikodifikasi daripada moralitas. Oleh karena itu, ia mempunyai kepastian lebih
besar dan bersifat lebih objektif.
Norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak „diganggu“
oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis
atau tidak etis.
2. Baik hukum maupun
moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah
laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang
berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi
yang berkaitan dengan moralitas. Hukum dapat dipaksakan. Orang yang
melanggar hukum akan terkena hukumannya, tapi norma etis tidak dapat
dipaksakan. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang
tidak tenang.
4. Hukum didasarkan
atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Moralitas
didasarkan atas norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan
cara demokratis orang bisa mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat
mengubah norma moral.
HATI NURANI
Hati nurani
adalah penghayatan tentang baik dan buruk berhubungan dengan tingkah laku
konkret. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu.
Tidak mengikuti hati nurani berarti meng-hancurkan integritas
pribadi kita dan meng-khianati martabat terdalam kita.
Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa manusia mempunyai kesadaran. Untuk mengerti hal ini perlu kita
bedakan antara pengenalan dan kesadaran. Kita mengenal
bila kita melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu. Kesadaran adalah
kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi
tentang dirinya. Pengenalan bukan merupakan monopoli manusia. Binatang pun bisa
mengenal objek. Akan tetapi kesadaran merupakan monopoli manusia.
Dalam diri
manusia bisa berlangsung semacam “penggandaan”, ia bisa kembali kepada
dirinya. Dalam proses pengenalan dirinya manusia
berperan sebagai subjek juga sebagai objek. Untuk menunjukkan
kesadaran digunakan kata conscience; con (bersama dengan, turut)
dan science (mengetahui). Kata conscience digunakan juga untuk
menunjukkan hati nurani. Bukan saja manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi juga ada yang
“turut mengetahui” tentang perbuatan moral kita. Dalam diri kita seolah-olah
ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan
yang kita lakukan. Hati nurani merupakan “saksi” tentang perbuatan-perbuatan
moral kita.
HATI NURANI: RETROSPEKTIF DAN PROSPEKTIF
Hati nurani retrospektif
adalah memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau
mencela bila perbuatannya jelek; memuji atau memberi rasa puas bila
perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan instansi
kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung. Bila
hati nurani menghukum dan menuduh kita, batin akan merasa gelisah. Ini
berarti kita memiliki a bad conscience. Bila kita telah ber-tingkah laku baik, kita mempunyai a good conscience.
Hati nurani prospektif
melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang.
Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau melarang
melakukan sesuatu.
HATI NURANI: PERSONAL DAN ADIPERSONAL
Hati nurani
personal selalu berkaitan dengan erat dengan pribadi bersangkutan. Hati nurani
diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan
perkembangan seluruh kepribadian kita. Hati nurani hanya bicara atas nama
saya. Hati nurani hanya memberi penilai-annya tentang perbuatan
saya sendiri.
Di samping aspek personal, hati nurani
menunjukkan juga aspek adipersonal. Selain bersifat pribadi hati nurani juga
seolah-olah
melebihi pribadi kita. Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani” itu sendiri. Hati
nurani berarti hati yang diterangi. Dalam pengalaman mengenai hati
nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati
kita. Perhatikan istilah: suara hati, kata hati atau suara batin. Terhadap hati
nurani kita seakan menjadi “pendengar”. Hati nurani mempunyai suatu aspek transenden,
artinya, melebihi pribadi kita. Bagi orang beragama hati nurani memiliki
dimensi religius.
PEMBINAAN HATI NURANI
Ada banyak tipe
hati nurani: ada yang halus dan jitu, ada yang longgar dan
kurang tepat dan ada yang tumpul. Hati nurani yang dalam keadaan
tumpul biasanya karena salah didik. Anak yang dididik dalam keluarga
pencuri hampir tidak mungkin mempunyai putusan hati nurani yang baik tentang
hak milik. Bagaimana keadaan hati nurani (jitu, longgar, tumpul), sebagian
besar bergantung pada pendidikan
dan lingkungan. Hanya hati nurani yang dididik dan dibentuk dengan baik
dapat memberikan penyuluhan tepat dalam hidup moral kita.
Hati nurani harus
dididik. Pendidikan hati nurani bersama dengan seluruh pendidikan moral. Tempat
yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan
sekolah. Pendidikan hati nurani itu harus dijalankan sedemikian rupa sehingga
si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
KEBUDAYAAN MALU DAN KEBUDAYAAN KEBERSALAHAN
Antropologi
budaya membedakan dua macam kebudayaan: kebudayaan malu (shame
culture) dan kebudayaan kebersalahan (guilt culture).
Kebudayaan malu seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa besalah.
Kebudayaan kebersalahan terdapat rasa bersalah. Shame culture
adalah kebudayaan di mana pengertian-penggertian seperti “hormat”, “reputasi”,
“nama baik”, “status”, dan “gengsi” sangat ditekankan.
Bila orang
melakukan suatu kejahatan, hal itu tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu
saja, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan untuk orang lain. Bukan
perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap penting; tetapi yang penting adalah
bahwa perbuatan jahat tidak akan diketahui. Jika perbuatan jahat diketahui,
pelakunya menjadi “malu”. Dalam shame culture sanksinya datang dari
luar, yaitu apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Dalam shame
culture tidak ada hati nurani.
Guilt culture adalah kebudayaan di mana
pengertian-pengertian seperti “dosa” (sin), “kebersalahan” (guilt), dan
sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kesalahan tidak akan pernah
diketahui oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga. Ia menyesal dan merasa tidak tenang
karena perbuatan itu sendiri, bukan karena dicela atau dikutuk orang lain. Jadi
bukan karena tanggapan pihak luar. Dalam guilt culture, sanksinya tidak datang
dari luar, melainkan dari dalam, dari batin orang bersangkutan. Dapat
dimengerti bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani memegang peranan
sangat penting.
DAFTAR SUMBER:
Anshari, H. Endang
Saifuddin. 1981. Ilmu, Filsafat dan
Agama. Cetakan ke-2. Surabaya: Bina Ilmu.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Suriasumantri, Jujun S.
1985. Filsafat Ilmu; Sebuah
Pengantar Populer. Cetakan ke-3. Jakarta: Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Tales sampai Capra. Edisi revisi. Bandung: Rosda Karya.