Teruntuk dirimu yang sedang berusaha pergi,
Ini mungkin catatan terakhirku tentangmu. Sebelumnya
minta maaf. Minta maaf atas segalanya. Atas kata yang sempat aku tuliskan tanpa
dipikirkan, atas kalimat menyerah yang nyatanya memunafikkan, atas ego yang
terlalu membuatmu muak. Sekali lagi maafkan.
Kamu yang dalam catatanku akrab kupanggil “kamu”, kali
ini dalam catatan ini aku akan menyebutmu “Jeje” panggilan yang aku rindukan
untuk sekedar menyapamu.
A Jeje.... kamu tahu ancaman stress dalam hidupku saat ini apa? Bukan saat ini maksudku dua
bulan kebelakang ini. Itu adalah diasingkan olehmu. Iya. DIASINGKAN.
Kita seperti tak saling mengenal, tak ada lagi kata ‘Selamat
pagi’, tak ada lagi ajakan ‘hayu ketemu’, tak ada lagi wifi corner, tak ada
lagi mie ayam gratis, tak ada kalimat kalimat lelucon tak penting yang tak
jarang membuatku mudah tertawa lepas.
Aku pura pura tak merindukanmu,tapi aku gagal, dan
kamu yang menggagalkanku, memang aku sering mengulang ngulang pernyataan bahwa ‘Aku yang mematahkan perasaanku sendiri, aku
yang membuka pintu kemunduran hubungan kita, aku yang terlalu bodoh menyakiti
diri sendiri dengan kesimpulanku sendiri’. Tapi tetap dibalik pernyataan
itu, selalu ada pertanyaan.
Pertanyaan pertanyaan semisal, Adakah terlintas dihatimu tentang mempertahankan? Tentang berusaha
menjaga? Tentang memberikan pemahaman? Atau tentang sebuah jawaban yang ku
pertanyakan? Semuanya N.I.H.I.L tak ada pernyataan atau pertanyaan apapun darimu. Tak ada feedback apapun tentang
usahaku yang berusaha memperbaiki.
Aku sedikit sedikit memaksakan memehami, mungkin
kamu lelah. Tapi kenapa harus seperti itu? Aku dulu pernah bilang padamu bukan?
Tentang orang orang yang melukaiku, dan aku bilang padamu tentang harapan tak
ingin mengulangi lagi kejadian yang sama. Dan kamu meyakinkan. Atau ah mungkin
hanya aku yang ingat hal ini.
Aku pikir setelah kamu meyakinkan dengan quotes iklan L-MEN yang katanya “TRUST
ME, IT WORKS” itu, kamu adalah orang
terakhir yang akan menyembuhkan luka.
Memang benar setelah bertahun tahun kita saling
mengenal melalui media sosial, baru hampir beberapa bulan kamu sempat
meyakinkan hal itu. Dan bodohnya aku, aku baru sadar tentang perasaanku ketika kamu sudah benar benar menjadi asing
kembali. BODOH. Dan aku menyesalinya.
Aku mencoba menenangkan diri, berpikir jernih sampai
menyesal, kemudian meminta maaf, kemudian berusaha untuk mencoba kembali,
mencoba memperbaiki hubungan, mencoba berusaha mempertahankan, tapi itu sia
sia. Kamu benar benar asing.
Sampai aku lelah, aku coba sadar dan menyadarkan
diri, aku sudah mulai mundur, sudah mulai berusaha untuk melupakan, sudah aku coba
semuanya, semenjak dua bulan membiarkan rindu seprti endapan kopi yang tak akan
pernah kau teguk.
Tapi kamu tahu berusaha melupakan hasilnya sama
seperti berusaha mempertahankan. Sama sama tak ada hasilnya. Aku bingung entah
harus mengalah pada pertahananku, atau mengalah pada hatimu yang memilih berusaha
pergi.
Jika benar benar ini tulisan terakhirku tentangmu a
jeje...
Aku mohon kamu menanggapinya, dengan sebuah
kejelasan. Sebuah kabar. Tapi bukan kabar ‘tidak ada kabar’ bukan kabar ‘tidak
jelas’ tapi kabar tentang kejelasan yang berkabar. Aku masih menunggumu sampai
akhir januari.
Bukannya aku melankolis, sehingga berharap cerpen
ini ada soundtrack lagu berakhir di
Januari. Tapi kadang kita memang harus memaksakan menyelesaikan apa yang
telah kita mulai bukan? Walau kamu tak merasa kamu pernah memulai suatu
hubungan denganku, tapi setidaknya kamu menghentikan yang mungkin sebuah bayangan
hubungan yang menurutku pernah kita mulai.
Asal kamu tahu, akhir akhir ini, orang yang dulu
pernah melukaiku datang. Memang aku belum menyimpulkan bahwa dia datang untuk
kembali. Tapi selintas pikiran itu ada. Tapi sungguh aku tak yakin dia datang
untuk menyembuhkan lukaku sekarang, sebab diapun pernah melukaiku. dan bahkan
yang ada dalam fikiranku, aku tak yakin kamu akan melukaiku, karna kamu pernah
menyembuhkan luka. Dan aku percaya kamu tetap sebagai obat, bukan sebagai racun
untuk malah membunuhku.
Yakinku tetap pada kamu, yang diharapkan kembali.
Walau akhirnya aku harus menyediakan dada yang
lapang jika pada akhirnya kamu kembali untuk pergi bukan kembali untuk
mengobati lagi. Tapi setidaknya kamu pamit, aku benci perpisahan tanpa ucapan
selamat tinggal.
Selamat malam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar