Gia masih mematung melihat derasnya
air di Sungai dekat Ruangan Rs.Cahaya tempat Amanya dirawat. Derasnya air
sungai,disekitar Rumahsakit seakan menghidupkan suasana pantai,ah padahal itu
khayalan. Gia, pada saat itu kebetulan sedang merindukan suasana pantai wediombo
di diujung timur selatan Yogyakarta,Pantai dengan Bukit karang yang terbentang
indah,hamparan pasir putih luas denga kombinasi bebatuan sangat pas untuk
menjadi pilihan rehat diwaktu liburan dan …
“Ah liburan , aku tak pernah
memikirkan hal itu, apalagi yogya sangatlah mustahil,jika aku mampu kembali
kesana, terlebih setelah kejadian ini,aku tak rela ke yogya dalam keadaan Ama seperti ini” ucap Gia dalam hati, dengan mata belonya yang
masih menatap ke sungai,poni yang sedikit panjang menghalangi pandangannya
terkibas kibas angin sore.
Di sudut ruangan itu,keluar seorang
bapak paruh baya, dengan hasil rontgen ditangannya,dia lelaki tua itu dengan
wajah yang sudah mulai keriput,rambut yang telah beruban,punggung yang sedikit
membungkuk,menghampiri Gia.
“Nak,Ama mu… kena ….” Bapak itu tak
melanjutkan, matanya sedikit berkaca kaca,lidahnya kelu untuk berkata sepatah
katapun,ia hanya mampu menatap Gia,sambil menyodorkan hasil Rontgenannya.
Gia mulai membuka hasil rontgenannya
pelan – pelan, dalam hatinya beribu rasa yang tak ingin ia rasakan bermunculan
dibayangannya,berharap mimpi buruk masalalu tak ingin lagi ia alami,dalam hati
ia berdo’a dengan lirih “bismillah”.
“Abah? Ama terkena Arteri Koroner.
Abah tau? Dari kapan Ama mengidap penyakit ini Abah?Kenapa Abah gak bisa jadi
suami yang baik untuk Ama?Kenapa Abah gak bisa menjaga Ama ketika Gia ndak ada
disini?Abah jawab Giaaaaaaaa!” Nadanya meninggi,air matanya menetes beriringan
dengan perkataany,ia tak terima dengan hasil rontgenannya,terlebih dari itu ia
sangat tidak terima dengan perlakuan Abahnya yang tidak begitu memperhatikan
Amanya,itu menurut pikiran Gia.
“Abah,sudah bilang pada Amamu untuk
berhenti bekerja,tanda tanda penyakit itu sudah lama Abah ketahui,Abah sudah
mengajak Ama untuk segera periksa,tapi ia kata tak apa,ia masih semangat jualan
mendoan dipinggir madrasah dekat rumah Gi,iya Abah yang salah. Seharusnya Abah
harus lebihkan usaha Abah,maafkan Abah,nak” pria paruh baya itu memeluk erat
Gia,ia tak ingin melepaskannya.
Mimpi buruk masalalu semakin nyata
dihadapannya,penyebab kematian yang dialami kaka satu satunya dulu,sekarang
dialami oleh Amanya. Cukup menyakitkan memang,dan ini ujian terberat untuknya.
***
“Sudah Dhuha ya,de?” Tanya seorang
perempuan kira kira tiga atau empat tahun lebih tua darinya yang duduk di
sampingnya,di teras mushola Rumah Sakit.
Gia menatap perempuan itu,dilihatnya
dimulai ujung kaos kaki yang dipakai perempuan itu,Gamis yang lebar dan
terlihat nyaman,khimar yang terurai indah,ditambah wajah yang berseri
seri,tanda ia perempuan yang ceria.ah lengkap sudah.
“Belum Mbak,saya ingin duduk dulu
saja.”
“Duduknya di dalam saja,Curhatnya
sama Allah saja”
“Mana mungkin Allah mendengarkan
curhatanku, apa yang aku minta saja tak pernah Allah dengar,apalagi keluh kesahku
itu percuma,Allah sudah membiarkan aku kehilangan Abang,dan sekarang haruskah
saya siap siap untuk kehilangan Ama?” Gia terisak isak sambil menunduk dengan kedua
tangan menahannya,airmatanya berjatuhan pada celana levisnya.
“De,maaf Mbak,ndak kenal ade,tapi
rasanya hati ini sama sama merasakan apa yang ade rasakan,semua ujian yang
Allah berikan pada kita itu bisa saja sebagai penegur Allah, atau bisa saja
ketika kita berdo’a, kita tidak maksimalkan do’anya,atau kita fikirkan lagi
muhasabah diri, mana mungkin kita banyak memnita, tapi apa yang Allah
perintahkan pada kita saja,kita tak mampu menjalankannya,afwan ya de…misalnya
aurat ade….terkadang kita terlalu banyak menuntut dan sedikit memberi…sekali
lagi afwan ya de” Kata perempuan berjilbab itu,dengan bicara sedikit hati hati
dengan tangan yang tak segan untuk memegang pundak Gia,yang masih tertunduk
menangis.
Seketika hening,sepi sunyi di teras
mushola itu,setelah kemarin sore ia mendapat kabar yang tak ia inginkan,ia
belum bisa beraktifitas dengan sepertinya,ah aku fikir bukan aktifitas, bahkan
tersenyum sedikitpun 2 hari berlalu belum terlihat smpai sekarang. Gia masih
terdiam,seperti mendengar dengan teliti setiap satu huruf yang diucapkan
perempuan itu,ia meresapi.
“De,Do’a. Do’a itu salah satu kebutuhan
manusia untuk berkomunikasi dengan TuhanNya. Ya,bentuk komunikasi,komunikasi
selalu bisa dilakukan dengan siapapun kapanpun, tapi tetap yang menjadi
komunikan yang nyaman atau baik itu,yang paling dekat dengan
komunkatornya,sedang yang paling dekat dengan Allah itu...calon calon Para Ahli
Syurga,para shalih,shalihat yang rajin tahajjud,rajin tilawah,shalat tak pernah
lalai,perintahNya selalu terpenuhi,sedang kita. Sudahkah kita jadi komunikan
yang baik untuk Sang Komunikator kita,Allah ??”
Tangisan Gia mulai berhenti,namun
isaknya sedikit masih ada,tapi itu wajar,menurutku. Ia bangun dari tangisnya
dan menatap dalam wajah perempuan itu.
“Terimakasih Mbak,Mbak benar,bukan
pada Allah saja aku terlalu sering meminta,bahkan pada Ama dan Abah pintaku
banyak sekali,tapi aku sadar apa yang Mbak katakan barusan cukup menampar
fikiranku,Aku terlalu banyak meminta dan sedikit memberi,terlalu sibuk berdo’a
tapi ikhtiar tak ada,ini mungkin dosaku,,,,tapi Allah berikan ujiannya lewat
Ama,dan tentang Doa itu... ya Do'a itu...aku akan coba fahami,Terimakasih ya Mbak… terimakasih. ”
Peluk erat Gia,pada perempuan
berjilbab itu,seketika dalam fikiranku,Tentram. Itu yang Gia rasakan.
Sabtu Malam, 00:48
masih ditengah Rumah,
Selamat menikmati hidanngan tengah
malam ^^
#SiJingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar