Jumat, 12 Januari 2018

KELIRU #CERPEN

- KELIRU-
OLEH: WIDY

“Soal perasaan  kadang kita perlu melibatkan otak kiri agar hasilnya tak keliru”

Aina mengetik kalimat itu di note handphone nya yang sedari tadi masih dalam genggaman. Ditemani headset dengan playlist album Crazy Love-nya Michael Buble. Prosa yang ia niatkan untuk postingan #ceritahariancallange-nya itu tak rampung-rampung. Ia malah memaknai kalimatnya sendiri. Sedangkan mocca late  disampingnya sudah hampir habis, dan ia masih saja nyaman dalam ke-stuck-kannya duduk di ruangan ternyaman di rumahnya, sebuah  ruangan yang seperempatnya padat oleh buku dengan dua buah kursi didalamnya.

Atmosfer lengang di ruangan itu terasa kuat, sekali-kali suara ‘Sssshh’ nafasnya Aina menemani suasana lengang itu. Aina terus memaknai kalimatnya sendiri, menyusuri ruang pikir nya dalam-dalam. Ia ingin sekali melibatkan otak kiri nya dalam hal ‘perasaan’ tapi nyatanya tak berhasil.  Seorang pria yang senang ia panggil ‘Manis’ masih saja berlalu lalang dalam ruang khayalnya.

Ia sangat ingin menulis, tapi ia selalu saja tiba-tiba stuck ketika yang muncul dalam ruang imajinasinya ujung-ujungnya si ‘manis’.

“Sebal ! kenapa harus si Manis?” gerutunya dalam hati.

***

Tiru saja Aina, kita panggil dia “Manis”.  Selain seorang pengusaha muda ia juga seorang pejuang subuh, pecinta orangtua, peyayang adik-adik pokoknya ia pria tulen yang sangat wajib di kembangbiakkan. Pribadi yang mempunyai daya pikat yang begitu rupawan bagi pandangan wanita, ia termasuk lelaki yang beruntung dalam hal ini. Yang dikagumi banyak perempuan  tak terkecuali Aina, temannya sendiri.

Sejak kurang lebih empat tahun yang lalu mereka berteman baik, Aina baru sadar kalau akhir-akhir ini ia mengagumi temannya sendiri, bukan kagum biasa tapi entah sejak  kapan tepatnya,  tiba-tiba kagumnya berubah menjadi  hasrat rasa ingin memiliki pada teman yang kerap ia panggil ‘Manis’.

Dalam hal petak umpet perasaan, Aina sangat jago, termasuk menyembunyikan perasaanya pada si Manis. Tak ada seorangpun yang tau bahwa dia sedang menyukai temannya sendiri.  Rasa suka yang semakin hari semakin timbul bersamaan dengan sedikit malu membuat Aina berharap lebih jauh.

Kemudian Aina mulai menyangkut pautkan apa-apa tentang Manis dengannya. Sesederhana apapun itu. Semisal komentar yang intens di SnapWhatsApp-nya, tatapan si  Manis, panggilan khusus untuknya, hingga nasihat yang Manis berikan.

“Aina....perempuan itu jangan terlalu sering memajang poto di media sosial!” kata Manis suatu hari

“Nasihat itu kan tanda cinta, jadi ketika kamu menasihatiku, berarti....?” tanyanya dalam hati.  

Seulas senyum  yang tergurat dibibirnya bertahan hingga tiga puluh detik lamanya. Matanya rapat memberi guratan baru dipipi, pelengkap senyumannya.

***

“Ya Allah pokoknya tambahkan keyakinanku padanya.” Diam diam Aina melapalkan nama ‘Manis’ dalam istikhorohnya sedikit memaksa.

Hari-hari setelah istikhoroh malam itu, Aina merasa keyakinan pada pria yang tak lain temannya itu semakin kuat. Ia merasa bahwa Manis memang pelabuhan terakhir masa penantiannya selama ini.

Ia semakin rajin saja melapalkan nama ‘Manis’ dalam do’anya, kemudian semakin bertambah pula keyakinannya. Hari- hari nya pula di bersamai dengan pengharapan yang semakin mengokoh dalam hatinya. Setiap kali ia bertemu bahkan hanya berpapasan, Aina seringkali mati gaya atau malah mendadak linglung.

“Na, pa kabar?”

“...eungg Gimana a ?”

Skip ah kamunya ngelamun”

Dibanding mengolah pertanyaan yang dilontarkan, ia lebih tertarik menyibukkan diri menatap gerak-gerik si Manis. Bukan sekali saja, tapi kerapkali kejadian seperti itu ia alami. Dan Aina tetap saja egois dengan perasaanaya. Ia tetap bersikeras menyembunyikan perasaanya. Hingga suatu hari, niat hati ingin ia curhatkan perasaannya pada sang guru, tetiba diwaktu yang sama something occured. Manis mengatakan sesuatu padanya.

***

“Selalu.. saja, dalam hal perasaan perkiraan ku tak pernah tepat sasaran. Kayaknya benar deh,  aku perlu otak kiri untuk ku libatkan dalam mengolah hati. Otak kiri berpikir logis. Tak pernah ada ‘mungkin’. Kalau benar ya benar, kalau salah ya salah.” Aina mengumpat pada dirinya sendiri ia kesal pada hatinya. Sampai ia tak mendengar suara decit pintu yang terbuka,

“Siapa yang salah Na ?” Seorang perempuan sebaya dengannya menghampiri, kemudian duduk di sofa tepat didepan dari tempat merenungnya Aina.

“Aku harus banget yaaa curhat?” Aina masih menaruh kedua tangannya di bawah dagu, diatas bantal dengan badan menelungkup diatas kasur nyamannya. Ia tak perduli dengan wajah yang kusut dan kerudung yang tak beraturan.

“Menurutmu?”

“Aku sedang keliru Den...”

“Dengan apa? siapa ?”

“Dengan hasil istikhorohku!”

Dena adalah salah satu sahabat terdekatnya Aina, lama sebelum Aina kenal dekat dengan si Manis. Dena telah membersamainya sedari sekolah dasar. Selain seperti prudential yang always listening always understanding, Dena juga guru spiritualnya Aina. Penasehat termuda terbaik sepajang masa keduasetelah ibunya.

“Aina... Perihal pilinan doa yang kamu panjatkan tak ada satupun yang salah, hanya saja kamu simpan ‘lebih’ cinta disana, hingga ketika sasaranmu melesat jauh kecewamu besar. Padahal jika kamu simpan ‘cukup’cinta pada setiap apapun yang kamu lakukan, pasti gak akan keliru.”

“Jadi menurutmu?”

“Kamu juga, bukan istikhorohmu yang salah. Aku ulangi, kamu hanya terlalu berharap pada manusia, bukan pada pemiliknya. Jadi, pertanyaannya apakah yakinmu itu datang dari Allah atau dari pengharapanmu? Tapi itu memang fitrahnya manusia yang bernafsu, aku juga sering seperti itu.”
Mendengar penuturan dari penasehat terbaiknya, Aina tak bisa menahan lebih lama air yang terkantung penuh di kelopak matanya, pelukan Dena selalu yang terbaik. Walau Dena tak tau detail bagaimana masalahnya, tapi ia selalu paham yang Aina rasakan.

***

“Ain.... aku lagi mau niat taaruf sama seseorang,”

“Kamu doain yak, Na”

“Dia kayaknya emang pelabuhan terakhir aku deh”

“Aku dah yakin mau kerumahnya”

“Bales dong Aina! jangan cuman di- read!”

“Minta saran nih...!”

Bunga-bunga yang sebelumnya tengah mengembang di hatinya, mendadak layu. Nafasnya entah didetik keberapa detaknya tak beraturan, ditambah rasa sesak tiba-tiba menyeruak didadanya. Ia mencoba memalingkan pandangan keatas entah kemana perhatiannya berpusat, yang pasti ia  hanya berusaha untuk menahan buliran air yang hampir tumpah di kelopak matanya.  Ponsel yang masih dalam genggamannya terus menerus berdering. Notifikasi Chat dari si Manis terus menerus berdenting. Kemudian Aina memalingkan kembali pandangannya pada ruang Chating WhatsApp.

“Ohhh....”

“Kok, Oh doang? Menurut kamu gimana?”

“Eh bentar - bentar a, Aina lagi ngerjain sesuatu. Nanti sore Aina balas yaaa..tapi, pokoknya Aina dukung aa, SEMANGAT!” Aina mencoba menghindar untuk menjaga hatinya yang benar-benar tengah rapuh. Ia kemudian mematikan ponselnya sepanjang hari.

“Bego bener sih Lo,Na!” ia mencibir dirinya sendiri.

“Kenapa hasil Istihkorohku bisa melesat sih?”

“Pokoknya aku gak akan pernah lagi melapalkan nama ‘siapapun’ dalam doaku!” gerutunya pada diri sendiri.

Ketika ia menghidupkan kembali ponselnya, ia berusaha menghibur diri mengalihkan rapuhnya untuk sekedar membuka beranda instagram.  

Hidup akan membawa kita pada kenyataan yang tak sesuai rencana. Disanalah kita akan belajar bahwa tak setiap harapan harus terwujud.”

Sebuah snap gram yang diposting oleh seorang Author yang akrab Aina panggil Bang Fiersa mencuat di layar ponselnya. Nafas nya pelan-pelan mulai kembali berhembus normal.

“Oke, gak semuanya Na, wake Up !!!”

Ia berusaha mengeringkan basah dipipinya.  Sedikit dramatisir.

***

Aina berusaha melengkungkan bibirnya, mengambil nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya,


“Karena Otak kiri selalu berkata tentang logika. Dan Perasaanpun butuh logika sebagai penyetara kekeliruanmu. Logika itu selau berbicara kepastian bukan kemungkinan. Jadi, ketika suatu saat datang lagi ‘harapan’ dari pada perasaan, maka yang datang adalah harapan ‘pasti’, hasil pembuahan dari logika dan perasaan dengan cukup cinta” lanjut Aina di ruang note ponselnya.

Kamis, 11 Januari 2018

DILEMA


Pagi-pagi sekali ponselku sudah ramai ! Berseling beberapa detik setelah aku mem-posting tentang pentingnya pengembangbiakan lelaki yang rajin ke mesjid, satu demi satu chat  berdatangan. Dan satu diantara denting-denting WhatsApp itu yang sejenak membuatku tertegun. Seulas senyum lantas tergurat begitu saja saat mataku menangkap figur yang khas di sana. Sosok berambut hitam tebal dengan janggut telah bertengger di sudut kiri atas layar ponselku.

“Sekalian di stek, cangkok dan kloning”

Tak sadar seulas senyum menggurat panjang di kedua bibirku, ada hal yang seharusnya biasa saja, tapi hati memaksa untuk tidak biasa. Eimmm. Lelaki itu.
***
Aku gadis Enegik pecinta langit serta apa-apa yang digantungkan diatasnya; seperti awan, matahari, bulan, bintang, dan lain sebagainya. Oke, Panggil saja aku “Aku”. Tak lama setahun kebelakang ini aku baru saja mengalami patah hati yang sangat drama dalam hidup. Suatu hari aku sempat saling menyimpan rasa dengan seseorang, saling komitmen, oke ini norak banget, dan kemudian si seseorang itu pergi tanpa pamit, sampai akhirnya hati yang awalnya tumbuh subur dan berkembang patah sepatah-patahnya, layu kemudian mati, dan ini kisah terdrama yang pernah aku alami. Yang kemudian mereformasi diriku, dari gadis energik jadi gadis dengkik[1]

Lupakan soal itu.itu tentang satu tahun kebelakang. Tidak untuk hari ini. Sore ini, seperti biasa aku yang baru saja pulang kuliah menikmati setiap ruas jalan di pusat kota yang akrab disebut alun-alun. Gerobak Goyobod , tahu Bulat, tahu balut, Seblak, kelapa muda dan lain sebagainya yang menderet di trotoar jalan, sedikitpun tidak menarik perhatianku. Aku lebih tertarik pada langit sore ini. Walau jingga pada senja yang dirindukan sore tak muncul jua, kurasa penutup hari sore ini cukup dengan awan putih yang kemudian pelan pelan  menjadi abu abu, pekat, sampai gelap.

Sebelum langit benar-benar menghadirkan bulan, suasana sore di alun-alun sedikitnya masih hidup, bangku bangku disekitar Taman Alun-Alun memang sedang tak berpenghuni, tapi ruas ruas jalan disekitarnya ramai dengan orang yangberlalu-lalang .

Lalu untuk mengisi kehampaan suasana sore ini , aku duduki salah satu bangku di pinggir Taman. Bukan untuk melanjutkan drama yang pernah aku perankan. Maksudku bukan untuk mengenang apa-apa yang aku rindukan dulu. Aku hanya ingin lebih lama menikmati sore ini.

Aku cukup bahagia, menjalani hari dengan tanpamu,aku sudah terbiasa. Tenang saja, aku sudah sadar bahwa,“Kadang orang yang kita cintai memang diciptakan untuk dilupakan”[2] itu sangat berlebihan memang, namun intinya mungkin kita benar benar harus tau pentingnya ikhlas dalam hidup ini.

Sederhananya, semisal apa yang  akan kita makan saja. Jika tak sampai mulut kita, maka itu bukan milik kita, atau tepatnya tidak Allah takdirkan untuk kita. Apalagi kita yang pada dasarnya tak memiliki apa apa, kehilangan bukan hal yang seharusnya kita khawatirkan dengan berlebihan bukan ? ah lupakan tentang kehilangan itu. Aku sudah tak nyaman  hidup dalam masa lalu.

Masih disore yang sama, Aku masih duduk di bangku yang sama pula, aku memang pengidap 90 % Ekstrovert tapi, entah mengapa, aku sangat nyaman jika sendiri seperti ini. Memikirkan banyak hal dan kemungkinan kemungkinan yang mungkin terjadi dalam hidup kalau kata kids jaman now ini  adalah salah satu kenikmatan yang haqiqi, lalu berimajinasi membuat alur hidup sendiri untuk menyempurnakannya.

Aku perempuan yang sudah berkepala dua lebih satu tahun ini, sebenarnya sedang dilema.  Benar-benar sedang dilema. Aku bingung apakah aku sedang kasmaran atau sedang berhasil melupakan ? dua duanya memang hal yang baik. Tapi  ini benar benar ujian baru.

Sejujurnya Saat ini, aku sedang tak ingin kasmaran kepada siapapun. Tapi, hati dengan lancangnya, tiba-tiba ingin membangun kehidupan dengan lelaki yang benar benar seratus delapan puluh derajat berbeda kadar shalehnya denganku.

“Oh Tuhan... Terangkanlahhh”

Aku benar benar dilema, satu sisi aku bahagia selama satu tahun menghabiskan waktu untuk melupakan, akhirnya berhasil dengan sendirinya. Tapi, disisi lain aku takut untuk kasmaran kepada laki laki shaleh itu.

Memang, saat aku mulai sadar mengaguminya, aku merasa lebih dekat dengan Allah. Aku lebih merasa tenang. Hanya saja aku tetap takut. Aku takut ibadahku tidak benar-benar berniat untuk-Nya. Aku takut kedekatanku dengan Allah bukan murni atas dasar keikhlasan. Walaupun aku mengaku ikhlas.

Karna nyatanya, bukan hanya samson yang manusia bukan ? aku juga manusia biasa yang sering khilaf. Aku takut semua ini bukan atas dasar keikhlasan.

Bukankah ikhlas itu, menghindarkan segala hal kecuali Allah. Segala hal. Aku ulangi “Segala hal!” aku benar benar takut. Takut jika suatu saat ia tak lagi pantas ada dalam doaku, aku takut aku akan amat sangat kecewa dan terpuruk.

Setegar dan sekuat apapun, wanita tetap manusia perasa. Ia begitu rapuh dan mudah pecah. Sekali ia retak ia pasti berbekas. Terlebih aku sudah mengalami kisah terdrama dalam hidupku, aku tak mau menambah drama-drama yang lainnya.

Baru kali ini, aku merasa tersiksa dengan kasmaranku ini. Aku yang awalnya hanya mengenal ia sebatas teman, tiba tiba benar-benar mengagumi dalam diam. Ini sangat menggangguku. Aku tak tertarik dengan istilah teman jadi cinta. Ini membuat hidupku sedikit rancug. Banyak rasa segan dan sangat tak nyaman menatap seseorang. Karena apa daya,  ketika aku sekejap menatapnya, nafasku seolah berhenti. Dan ini adalah kasmaran yang paling tersiksa. Terlebih aku juga merasa aku yang sangat merasa berharap sama dia.

Sampai ada waktu dimana aku sering mati gaya hanya karna hal kecil, semisal dia bilang,

“Heyyy...”

Dan dengan wajah polos, aku cuma melongo, dan oke itu gaya yang absurd banget. Terus dia dengan wajah pura-pura tidak tahu, melanjutkan percakapan.

Awalnya aku merasa “Ah, ini kayaknya aku yang ngarep deh” Tapi, semakin hari aku ngerasa puzzle demi puzzle yang aku kumpulkan sebagai variabel  dari pada pendukung Hipotesa awal ku, semakin mengarah kesana.

Sesederhana, kita yang kadang saling curi tatap, atau saling senyum mesem – mesem hanya karna candaan yang menurut orang lain gak lucu tapi hanya kita yang cengengesan. Terus dia yang sering banget mengapresiasi snapwhatsapp-ku yang seringkali mengarah pada pintu-pintu pengharapan. Semisal, suatu hari aku menulis...

Pintu rezeki itu ada sepuluh, satu untuk pegawai sembilan untuk saudagar, oke Mau dapet saudagar ah biar dapet rezekinya sembilan pintu

Terus dia appreciate banget buat ngomen yang bikin aku baper”Alhamdulillah aku calon saudagar”
Dan itu adalah ke-geeran yang haqiqi yang sangat menakutkan.

Pokoknya banyak ketakutan yang datang, rasa khawatir akan ibadahku, rasa berharap yang semakin dalam ketika doa disematkan, dan masih ada berbagai macam keterpurukan yang terjadi pada jiwa yang dirundung kasmaran ini.

Ah, tersiksa. Dan sayangnya aku seorang perempuan,makhluk yang hanya bermodalkan doa dan doa. Sempet berfikir haruskah aku sampai kata mengeluarkan kalimat “dare you marry me ?” atau “Maukah kamu menikahiku?” Ah,aku bukan Siti Khodijah. Aku hanya muslimah dhaifah yang berharap memiliki lelaki shalih itu.

Finally, dari hati yang dirundung kasmaran timbul pertanyaan “Adakah lengan lelaki itu ingin membersamaiku untuk membangun rumah dan menaiki tangga menuju syurga?”
Lagi lagi aku mesem-mesem sendiri.

Sangat disayangkan langit semakin abu pekat. Dan ini tidak memungkinkan aku, untuk meneruskan percakapan pribadi bersama sore hari.
***
Suatu sore, mungkin dilema ini berakhir. Kemudian sampai suatu waktu aku mengatakan,
 “Ah Ya Allah.... ini kaya mimpi.”





[1] /deng·kik/ a lunglai; tidak ada daya kerja; tanpa semangat;
[2] Setelah Hujan Reda – Boy Candra