Selasa, 10 Juli 2018

Masihkah atau Sudah?


Masih membereskan undangan, tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah nama yang tertulis di layar ponsel mebuatku terdiam deg-degan. Ada apa dia menelponku?.

“Afwan akhi, ana mau tanya sesuatu boleh?”

“Iya, silahkan?”

“Apa antum sedang taaruf dengan seorang akhwat?”

Hatiku tersentak seolah petir di siang bolong menyambarku, rasanya langit runtuh tepat diatas kepalaku.

Kenapa pertanyaan ini keluar dari mulutnya sekarang ? sedangkan kenyataan akan akan mengecewakannya. Aku bingung harus menjawab apa, mengapa perempuan ini mengeluarkan pertanyaan yang sudah terlambat untuk dipertanyakan?

“Eu..eu afwan, ana tidak bisa menjawabnya”

(Story Of Haikal – Setia Furqan Kh)
***
Asma menatap dalam-dalam layar handphonenya, melihat video percakapan sort movie itu, seketika hati Asma tersentak. Apa mesti ia melayangkan pertanyaan yang sama seperti akhwat dalam film tersebut?. Asma terdiam. Ia terus memainkan scroll handphone-nya, mencari tau kabar Hafwan.

Namun tak satupun media sosial yang ia ketahui perihal dia. Sudah lama, mereka tak ‘lagi’ bersua di media sosial manapun.

Ia terus mengetik ulang ‘hafwan kafil Halim’ di layar handphone yang sedari tadi masih dalam genggamannya.

“Aduh asma, wake up. Bukankah setelah dulu kamu bertemu Andi, semua kontak Hafwan kamu hapus?” ia ketus pada dirinya sendiri, penuh sesal. Kedua alisnya mengernyit, bibirnya mengecil iaterus menggurutu. Tak seorangpun yang menghiraukan. Pantas saja, bangku-bangku yang berada disekitarnya ternyata kosong tak terisi. Disana hanya ada ia yang duduk sendiri, dan dua orang ibu muda yang tengah makan mie ayam dibawah pohon. Jadi, tak ada yang tau bagaimana Asma begitu kesal pada dirinya sendiri.

Asma yang merasa kesal, ia menutup layar handphone. Lalu, berusaha memperbaiki suasanan hati dengan memasang headseat dan memainkan playlist Subi –Ina Dua munsyid Favoritenya.
Namun, tetap saja. Meski ia tengah bersama playlist yang ia dengarkan, ia masih tetap diganggu dengan bayang-bayang Hafwan.

“Aku kok sebodoh itu ya dulu, hanya karena Andi, aku hapus semua kontaknya. Padahal dulu ia berusaha mencari kontakku, sampai minta sendiri sama Tari” gerutunya dalam hati.
Tiba-tiba dering notif masuk ke handphonenya, didapatinya undangan pernikahan dari temannya Hafwan. Ini sangat relevan.

Ada perasaan bahagia seketika saat itu, Asma merasa Allah sedikit memberi petunjuk pada perasaannya, meski ini tersirat, ia merasa bahwa ini berita baik untuknya.

“Mas Soleh, kira-kira orang Solo akan hadirkah?” tak sadar ia mengetik sebuah pertanyaan untuk Mas Sholeh di sebuah ruang Chat Whatsapp.

Tanpa berpikir panjang Mas Soleh tau siapa yang dimaksud oleh Asma.
“InsyaAllah ada”

Hati Asma seketika berbunga-bunga, deg-degan dulu yang lama tak pernah ia rasakan muncul lagi, ia merasakaan lagi deg-degan pada kali pertama ia bertemu hafwan dulu percis seperti saat ia mendengar bahwa ia akan bertemu Hafwan dipernikahan Mas Soleh.

Belum jua matahari turun, ia sudah terburu-buru beranjak membereskan buku yang lama tergeletak disampingnya. Ia melepas kedua headseatnya sambil kemudian beranjak meninggalkan bangku taman tengah kota itu.
***
“Nyatanya, apa –apa ang terbaik tak pernah ada dalam takaran manusia”
(Kurniawan Gunadi)

Dulu, ia pernah mengundurkan diri dari memantaskan diri untuk hafwan, hanya karna keluarganya kalangan hafidz-hafidzah. Sampai ia bertemu dengan Andi dan dan berpikir bahwa semuanya harus berubah. Ia merasa bahagia dan memutuskan untuk menjalankan kisah bersama Andi.

Namun nyatanya, tak seperti itu, Allah berkehendak lain, Andi bukan yang terbaik untuk Asma. Asma jatuh dan terpuruk hingga dua tahun because of Andi. Ia terjebak oleh perasaanya sendiri.
Perasaan cinta yang bukan lagi sedamai ketika ia mencintai Hafwan.  Dulu ketika ia menyimpan hati Kepada Hafwan, ia merasa Allah selalu hadir didekatnya. Namun jauh berbeda ketika bersama Andi, yang ia rasakan Andi adalah segalanya, ia benar-benar masuk zona jahiliyah selama itu.

Dan sekarang, setelah dua tahun berlalu luka yang Andi beri untuk Asma, Asma merasa ia mesti sembuh.

Karena bukankah obat patah hati adalah hat iyang baru?

Entah hati siapa yang akan menyembuhkannya itu, Tapi yang Asma mau, hati seseorang yang hatinya untuk Allah, dan berani menjatuhkan  hati padanya Karena Al;lah pula.
***
“Barakallahulaka wajama’a bainakuma fii khair,Mas Soleh....” langkahnya tertahan agak lama di Mas Soleh, ia lupa ada mempelai istri disampingnya, tapi ia terganggu denagn pertanyaan yang sebenarnya sangat malu ia pertanyakan, namun belum sampai ia bertanya, Mas Soleh mendahului,

“Mbak, dia gak datang, saya sudah bilang bahwa Mbak menanyakan kabarnya, tapi dia gak jawab apapun”

“Oh, gak papa, gak papa kok mas, saya gak begitu menghiraukan” Asma sedikit alibi dengan perasaanya.

Hidangan dari resepsi itu, tak ada satupun yang menggugah selera makannya, Asma sedang merasa tidak baik-baik saja. Ia malah terus mengocek-ngocek sedotan air minumnya, dengan tatapan kosong.

“Ma, Asma! Dimakan ma!” Tari yang sedari tadi bingung dengan tingkah Asma, menegur dengan menepuk pundak Asma.

“Eh, eh iya Tar, bentar”

“Mas Hafwan, Ma?”

“Eung... nggak kok, aku cuman udah kenyang, tadi lupa harusnya aku gak ambil nasi”

Tari merasa heran degan tingkah Asma, yang memang sangat aneh, ia ingin bertanya, namun ia paham betul bagaimana Asma, jika ia mau, ia akan menceritakan apa masalahnya tanpa ia tanya. Maka ketika itu, Tari memilih diam dan mengrampungkan makanannya.
Sedang Asma, yang masih dengan segelas air dan satu porsi makanan yang ia pajang di kursi sebelahnya, masih dengan rasa yang sesak.

“Apakah, Mas Hafwan sudah tak lagi ingin tau apa-apa  tentang aku?” tanyanya keras dalam hati.
***
“Ingat Ma, kata Bang Kugu juga apa-apa yang terbaik tak pernah ada dalam takaran manusia!”