Rabu, 18 Januari 2017

SURAT PERNYATAAN PERASAAN


Teruntuk dirimu yang sedang berusaha pergi,

Ini mungkin catatan terakhirku tentangmu. Sebelumnya minta maaf. Minta maaf atas segalanya. Atas kata yang sempat aku tuliskan tanpa dipikirkan, atas kalimat menyerah yang nyatanya memunafikkan, atas ego yang terlalu membuatmu muak. Sekali lagi maafkan.
Kamu yang dalam catatanku akrab kupanggil “kamu”, kali ini dalam catatan ini aku akan menyebutmu “Jeje” panggilan yang aku rindukan untuk sekedar menyapamu.

A Jeje.... kamu tahu ancaman stress dalam hidupku saat ini apa? Bukan saat ini maksudku dua bulan kebelakang ini. Itu adalah diasingkan olehmu. Iya. DIASINGKAN.

Kita seperti tak saling mengenal, tak ada lagi kata ‘Selamat pagi’, tak ada lagi ajakan ‘hayu ketemu’, tak ada lagi wifi corner, tak ada lagi mie ayam gratis, tak ada kalimat kalimat lelucon tak penting yang tak jarang membuatku mudah tertawa lepas.

Aku pura pura tak merindukanmu,tapi aku gagal, dan kamu yang menggagalkanku, memang aku sering mengulang ngulang pernyataan bahwa ‘Aku yang mematahkan perasaanku sendiri, aku yang membuka pintu kemunduran hubungan kita, aku yang terlalu bodoh menyakiti diri sendiri dengan kesimpulanku sendiri’. Tapi tetap dibalik pernyataan itu, selalu ada pertanyaan.

Pertanyaan pertanyaan semisal, Adakah terlintas dihatimu tentang mempertahankan? Tentang berusaha menjaga? Tentang memberikan pemahaman? Atau tentang sebuah jawaban yang ku pertanyakan? Semuanya N.I.H.I.L tak ada pernyataan atau pertanyaan  apapun darimu. Tak ada feedback  apapun tentang usahaku yang berusaha memperbaiki.

Aku sedikit sedikit memaksakan memehami, mungkin kamu lelah. Tapi kenapa harus seperti itu? Aku dulu pernah bilang padamu bukan? Tentang orang orang yang melukaiku, dan aku bilang padamu tentang harapan tak ingin mengulangi lagi kejadian yang sama. Dan kamu meyakinkan. Atau ah mungkin hanya aku yang ingat hal ini.

Aku pikir setelah kamu meyakinkan dengan quotes iklan L-MEN yang katanya “TRUST ME, IT WORKS” itu, kamu adalah orang terakhir yang akan menyembuhkan luka.

Memang benar setelah bertahun tahun kita saling mengenal melalui media sosial, baru hampir beberapa bulan kamu sempat meyakinkan hal itu. Dan bodohnya aku, aku baru sadar tentang perasaanku  ketika kamu sudah benar benar menjadi asing kembali. BODOH. Dan aku menyesalinya.

Aku mencoba menenangkan diri, berpikir jernih sampai menyesal, kemudian meminta maaf, kemudian berusaha untuk mencoba kembali, mencoba memperbaiki hubungan, mencoba berusaha mempertahankan, tapi itu sia sia. Kamu benar benar asing.

Sampai aku lelah, aku coba sadar dan menyadarkan diri, aku sudah mulai mundur, sudah mulai berusaha untuk melupakan, sudah aku coba semuanya, semenjak dua bulan membiarkan rindu seprti endapan kopi yang tak akan pernah kau teguk.

Tapi kamu tahu berusaha melupakan hasilnya sama seperti berusaha mempertahankan. Sama sama tak ada hasilnya. Aku bingung entah harus mengalah pada pertahananku, atau mengalah pada hatimu yang memilih berusaha pergi.

Jika benar benar ini tulisan terakhirku tentangmu a jeje...
Aku mohon kamu menanggapinya, dengan sebuah kejelasan. Sebuah kabar. Tapi bukan kabar ‘tidak ada kabar’ bukan kabar ‘tidak jelas’ tapi kabar tentang kejelasan yang berkabar. Aku masih menunggumu sampai akhir januari.

Bukannya aku melankolis, sehingga berharap cerpen ini ada soundtrack lagu berakhir di Januari. Tapi kadang kita memang harus memaksakan menyelesaikan apa yang telah kita mulai bukan? Walau kamu tak merasa kamu pernah memulai suatu hubungan denganku, tapi setidaknya kamu menghentikan yang mungkin sebuah bayangan hubungan yang menurutku pernah kita mulai.

Asal kamu tahu, akhir akhir ini, orang yang dulu pernah melukaiku datang. Memang aku belum menyimpulkan bahwa dia datang untuk kembali. Tapi selintas pikiran itu ada. Tapi sungguh aku tak yakin dia datang untuk menyembuhkan lukaku sekarang, sebab diapun pernah melukaiku. dan bahkan yang ada dalam fikiranku, aku tak yakin kamu akan melukaiku, karna kamu pernah menyembuhkan luka. Dan aku percaya kamu tetap sebagai obat, bukan sebagai racun untuk malah membunuhku.
Yakinku tetap pada kamu, yang diharapkan kembali.

Walau akhirnya aku harus menyediakan dada yang lapang jika pada akhirnya kamu kembali untuk pergi bukan kembali untuk mengobati lagi. Tapi setidaknya kamu pamit, aku benci perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.

Selamat malam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar