Sabtu, 21 Mei 2016

Doa itu ..


Gia masih mematung melihat derasnya air di Sungai dekat Ruangan Rs.Cahaya tempat Amanya dirawat. Derasnya air sungai,disekitar Rumahsakit seakan menghidupkan suasana pantai,ah padahal itu khayalan. Gia, pada saat itu kebetulan sedang merindukan suasana pantai wediombo di diujung timur selatan Yogyakarta,Pantai dengan Bukit karang yang terbentang indah,hamparan pasir putih luas denga kombinasi bebatuan sangat pas untuk menjadi pilihan rehat diwaktu liburan dan …

“Ah liburan , aku tak pernah memikirkan hal itu, apalagi yogya sangatlah mustahil,jika aku mampu kembali kesana, terlebih setelah kejadian ini,aku tak rela ke yogya dalam keadaan Ama seperti ini” ucap Gia dalam hati, dengan mata belonya yang masih menatap ke sungai,poni yang sedikit panjang menghalangi pandangannya terkibas kibas angin sore.

Di sudut ruangan itu,keluar seorang bapak paruh baya, dengan hasil rontgen ditangannya,dia lelaki tua itu dengan wajah yang sudah mulai keriput,rambut yang telah beruban,punggung yang sedikit membungkuk,menghampiri Gia.

“Nak,Ama mu… kena ….” Bapak itu tak melanjutkan, matanya sedikit berkaca kaca,lidahnya kelu untuk berkata sepatah katapun,ia hanya mampu menatap Gia,sambil menyodorkan hasil Rontgenannya.

Gia mulai membuka hasil rontgenannya pelan – pelan, dalam hatinya beribu rasa yang tak ingin ia rasakan bermunculan dibayangannya,berharap mimpi buruk masalalu tak ingin lagi ia alami,dalam hati ia berdo’a dengan lirih “bismillah”.

“Abah? Ama terkena Arteri Koroner. Abah tau? Dari kapan Ama mengidap penyakit ini Abah?Kenapa Abah gak bisa jadi suami yang baik untuk Ama?Kenapa Abah gak bisa menjaga Ama ketika Gia ndak ada disini?Abah jawab Giaaaaaaaa!” Nadanya meninggi,air matanya menetes beriringan dengan perkataany,ia tak terima dengan hasil rontgenannya,terlebih dari itu ia sangat tidak terima dengan perlakuan Abahnya yang tidak begitu memperhatikan Amanya,itu menurut pikiran Gia.

“Abah,sudah bilang pada Amamu untuk berhenti bekerja,tanda tanda penyakit itu sudah lama Abah ketahui,Abah sudah mengajak Ama untuk segera periksa,tapi ia kata tak apa,ia masih semangat jualan mendoan dipinggir madrasah dekat rumah Gi,iya Abah yang salah. Seharusnya Abah harus lebihkan usaha Abah,maafkan Abah,nak” pria paruh baya itu memeluk erat Gia,ia tak ingin melepaskannya.

Mimpi buruk masalalu semakin nyata dihadapannya,penyebab kematian yang dialami kaka satu satunya dulu,sekarang dialami oleh Amanya. Cukup menyakitkan memang,dan ini ujian terberat untuknya.



***

“Sudah Dhuha ya,de?” Tanya seorang perempuan kira kira tiga atau empat tahun lebih tua darinya yang duduk di sampingnya,di teras mushola Rumah Sakit.

Gia menatap perempuan itu,dilihatnya dimulai ujung kaos kaki yang dipakai perempuan itu,Gamis yang lebar dan terlihat nyaman,khimar yang terurai indah,ditambah wajah yang berseri seri,tanda ia perempuan yang ceria.ah lengkap sudah.

“Belum Mbak,saya ingin duduk dulu saja.”

“Duduknya di dalam saja,Curhatnya sama Allah saja”

“Mana mungkin Allah mendengarkan curhatanku, apa yang aku minta saja tak pernah Allah dengar,apalagi keluh kesahku itu percuma,Allah sudah membiarkan aku kehilangan Abang,dan sekarang haruskah saya siap siap untuk kehilangan Ama?” Gia terisak isak sambil menunduk dengan kedua tangan menahannya,airmatanya berjatuhan pada celana levisnya.

“De,maaf Mbak,ndak kenal ade,tapi rasanya hati ini sama sama merasakan apa yang ade rasakan,semua ujian yang Allah berikan pada kita itu bisa saja sebagai penegur Allah, atau bisa saja ketika kita berdo’a, kita tidak maksimalkan do’anya,atau kita fikirkan lagi muhasabah diri, mana mungkin kita banyak memnita, tapi apa yang Allah perintahkan pada kita saja,kita tak mampu menjalankannya,afwan ya de…misalnya aurat ade….terkadang kita terlalu banyak menuntut dan sedikit memberi…sekali lagi afwan ya de” Kata perempuan berjilbab itu,dengan bicara sedikit hati hati dengan tangan yang tak segan untuk memegang pundak Gia,yang masih tertunduk menangis.

Seketika hening,sepi sunyi di teras mushola itu,setelah kemarin sore ia mendapat kabar yang tak ia inginkan,ia belum bisa beraktifitas dengan sepertinya,ah aku fikir bukan aktifitas, bahkan tersenyum sedikitpun 2 hari berlalu belum terlihat smpai sekarang. Gia masih terdiam,seperti mendengar dengan teliti setiap satu huruf yang diucapkan perempuan itu,ia meresapi.

“De,Do’a. Do’a itu salah satu kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan TuhanNya. Ya,bentuk komunikasi,komunikasi selalu bisa dilakukan dengan siapapun kapanpun, tapi tetap yang menjadi komunikan yang nyaman atau baik itu,yang paling dekat dengan komunkatornya,sedang yang paling dekat dengan Allah itu...calon calon Para Ahli Syurga,para shalih,shalihat yang rajin tahajjud,rajin tilawah,shalat tak pernah lalai,perintahNya selalu terpenuhi,sedang kita. Sudahkah kita jadi komunikan yang baik untuk Sang Komunikator kita,Allah ??”

Tangisan Gia mulai berhenti,namun isaknya sedikit masih ada,tapi itu wajar,menurutku. Ia bangun dari tangisnya dan menatap dalam wajah perempuan itu.

“Terimakasih Mbak,Mbak benar,bukan pada Allah saja aku terlalu sering meminta,bahkan pada Ama dan Abah pintaku banyak sekali,tapi aku sadar apa yang Mbak katakan barusan cukup menampar fikiranku,Aku terlalu banyak meminta dan sedikit memberi,terlalu sibuk berdo’a tapi ikhtiar tak ada,ini mungkin dosaku,,,,tapi Allah berikan ujiannya lewat Ama,dan tentang Doa itu... ya Do'a itu...aku akan coba fahami,Terimakasih ya Mbak… terimakasih. ”

Peluk erat Gia,pada perempuan berjilbab itu,seketika dalam fikiranku,Tentram. Itu yang Gia rasakan.







Sabtu Malam, 00:48

masih ditengah Rumah,

Selamat menikmati hidanngan tengah malam ^^

#SiJingga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar