Senin, 30 Mei 2016

tafsir tentang MUKMIN



Apa sajakah ciri seorang mukmin? Di antaranya adalah ketika disebut nama Allah bergetar hati mereka, ketika dibacakan ayat Allah bertambah iman mereka dan mereka pun tawakkal pada Allah.
Mukmin/Mu'min (bahasa Arab: مؤمن) adalah istilah Islam dalam bahasa Arab yang sering disebut dalam Al-Qur'an, berarti "orang beriman", dan merupakan seorang Muslim yang dapat memenuhi seluruh kehendak Allah, dan memiliki iman kuat dalam hatinya
Al mukminun 1-2
 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ َ
"Sesungguhnya menanglah orang-orong yang beriman.° (ayat 1).

                Kalimat "menang" adalah bukti bahwasanya perjuangan telah dilalui menghadapi musuh atau berbagai kesulitan.
Orang tidaklah sampai kepada menang, kalau dia belum melalui dan mengatasi rintangan yang bertemu di tengah jalan. Memang sungguh banyak yang harus diatasi, dikalahkan dan ditundukkan dalam melangkah ke muka mencapai kemenangan. Kalau sekira­nya suatu bangsa mempunyai banyak musuh atau rintangan di dalam per­jalanannya untuk mencapai martabat yang lebih tinggi.

                Rintangan dari kebodohan, rintangan dari nafsu-nafsu jahat yang ada dalam diri sendiri, yang mungkin membawa derajat kemanusiaan jadi jatuh, sehingga kembali ke tempat kebimbangan rintangan dari syaitan yang selalu merayu dan memperdayakan, semuanya pasti bertemu dalam hidup. Hati nurani manusia ingin kejayaan,. kemuliaan dan kedudukan yang lebih tinggi. Tetapi hawanafsunya mengajaknya atau menariknya supaya jatuh ke bawah. Kalau kiranya "pegangan hidup" tidak ada, diri itu pasti kalah dan tidak tercapai apa yang dimaksud, yaitu kemenangan hidup.
                Maka di dalam ayat ini diberikan keterangan bahwasanya kemenangan pastilah didapat oleh orang yang beriman, orang yang percaya. Kalimat "qod" yang terletak di pangkal fill madhi (Aflaha) menurut undang-undang bahasa Arab adalah menunjuk kan kepastian. Sebab itu maka ia (Qad) diartikan"sesungguhnya".

                Hanyalah adanya kepercayaan adanya Tuhan jalan satu-satunya buat membebaskan diri dari perhambaan hawa nafsu dunia dan syaitan. Penga­laman-pengalaman di dalam hidup kita kerapkali menunjukkan bahwasanya di atas kekuasaan kita yang terbatas ini ada kekuasaan Ilahi. Kekuasaan Ilahi itu­lah yang menentukan, bukan kekuasaan kita. Tetapi kepercayaan dalam hati saja, belumlah cukup kalau belum diisi dengan perbuatan. Iman mendorong sanubari buat tidak mencukupkan dengan hanya semata pengakuan lidah.

                Dia hendaklah diikuti dengan buktt dan bakti. Kemudian bukti-bukti itu memperkuat Iman pula kembali. Di antara Iman dan perbuatan adalah isi­mengisi, kuat-menguatkan. Bertambah banyak ibadat, bertambah kuatlah lman. Bertambah kuat Iman, bertambah pula kelezatan dalam jiwa lantaran beribadat dan beramal.

                Maka ditunjukkanlah 6 (enam) syarat yang wajib dipenuhi sebagai bukti Iman. Kalau 6 syarat ini telah terisi, pastilah menang. Menang mengatasi ke­sulitan diri sendiri, menang dalam bernegara, dan lanjutan dari kemenangan semuanya itu ialah syurga jannatul firdaus. Syarat kemenangan Peribadi Mu'min yang pertama ialah:
Sembahyang Yang Khusyu`
ٱلَّذينَ هُمْ في‏ صَلاتِهِمْ خاشِعُونَ
"Orang-orang yang khusyu` di dalam melakukan sembahyang." (ayat 2).

                Tuhan tidaklah semata-mata untuk dipercayai. Kalau semata hanya dipercayai, tidaklah akan terasa betapa eratnya hubungan dengan DIA. Kita harus mengendalikan diri sendiri supaya bebas lain di dalam alam ini. Sebagai manusia kita mempunyai naluri, yang kalau din ini tidak mempunyai tujuan terakhir dalam hidup, niscaya akan sangsai dibawa larat oleh naluri sendiri.

                Kita mempunyai instink rasa takut. Kita dipengaruhi oleh rasa takut kepada kemiskinan, takut kepada kematian, takut akan tekanan-tekanan sesama kita manusia, kezaliman orang-orang yang berkuasa atas kita. Bahkan kadang kadang manusia yang berani pun ada juga naluri takutnya. Roosevelt Presiden Amerika Syarikat dalam Perang Dunia Kedua, menambahkan lagi salah satu tujuan "Declaration of Human Right" ialah bebas dari rasa takut (freedom from fear). Padahal tidaklah manusia dapat membebaskan diri dari rasa takut itu, sebab naluri rasa takut adalah sebagian dari naluri rasa takut mati. Takut mati ialah karena keinginan hendak terus hidup.

                Dengan mengerjakan sembahyang, yaitu bahasa nenek-moyang kita yang telah kita pakai untuk arti "shalat", maka seluruh rasa takut telah terpusat kepada Tuhan, maka tidaklah ada lagi yang kita takuti dalam hidup ini. Kita tidak takut mati, karena dengan mati kita akan segera berjumpa dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan amal kita selama hidup. Kita tidak takut kepada zalim aniaya sesama manusia, karena sesama manusia itu hanyalah makhluk sebagai kita juga. Kita tidak takut kepada lapar lalu tak makan, karena rezeki kita telah dijamin Tuhan, asal kita mau berusaha. Kita tidak takut meng­hadang bahaya, karena tidak ada yang bergerak dalam alam ini kalau tidak ditentukan Tuhan. Dengan sembahyang yang khusyu` rasa takut menjadi hilang, lalu timbul perasaan-perasaan yang lain. Timbullah pengharapan (desire) dan pengharapan adalah kehendak asasi manusia. Hidup manusia tidak ada artinya samasekali kalau dia tidak mempunyai pengharapan.

                Sembahyang 5 waktu adalah laksana setasiun-setasiun perhentian istirahat jiwa di dalam perjuangan yang tidak henti-hentinya ini. Sembahyang adalah saat untuk mengambil kekuatan baru melanjutkan perjuangan lagi. Sembah­yang dimulai dengan Allahu Akbar" itu adalah saat membulatkan lagi jiwa kita supaya lebih kuat, karena hanya Allah Yang Maha Besar, sedang segala perkara yang lain adalah urusan kecil belaka. Tak ada kesulitan yang tak dapat diatasi.

                Khusyu` artinya ialah hati yang patuh dengan sikap badan yang tunduk. Sembahyang yang khusyu`, setelah menghilangkan rasa takut adalah pula menyebabkan berganti dengan berani, dan jiwa jadi bebas. Jiwa tegak terus naik ke atas, lepas dari ikatan alam, langsung menuju Tuhan. Dengan sembah­yang barulah kita merasai nilai kepercayaan (Iman) yang tadinya telah tumbuh dalam hati. Orang yang beriman pasti sembahyang, tetapi sembahyang tidak ada artinya kalau hanya semata gerak badan berdiri, duduk, ruku` dan sujud. Sembahyang mesti berisi dengan khusyu`. Sembahyang dengan khusyu` ada­lah laksana tubuh dengan nyawa. Tuhan memberi ukuran waktu paling sedikit (minimum) untuk mengerjakan sembahyang itu 5 waktu. Tetapi sembahyang lima waktu yang khusyu` menyebabkan Mu'min ingin lagi membuat hubungan lebih baik dengan Tuhan, lalu si Mu'min mengerjakan shalat yang nawafil dalam waktu-waktu yang tertentu. Dengan itu semua jiwanya menjadi lebih kuat berjuang dalam hidup.

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)

Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat
Description: tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 2-4
                “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnyalah mereka bertawakkal, (QS. 8:2) (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 8:3) Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia. (QS. 8:4)” (al-Anfaal: 2-4)
                Berkenaan dengan firman-Nya ini, `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Tidak masuk ke dalam hati orang-orang munafik sedikit pun dari mengingat Allah saat mereka melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Mereka juga tidak beriman sedikit pun terhadap ayat-ayat Allah, tidak bertawakkal, tidak shalat saat sendirian dan tidak menunaikan zakat dalam harta kekayaan mereka. Maka Allah memberitahukan, bahwa mereka bukanlah orang-orang yang beriman.”
                Kemudian Allah mensifati orang-orang beriman, Allah berfirman: innamal mu’minuunal ladziina idzaa dzukirallaaHu wajilat quluubuHum (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,”) lalu mereka pun melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka; wa idzaa tuliyat ‘alaiHim aayaatuHu zaadatHum iimaanan (“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka [karenanya].”)
Ibnu `Abbas berkata: “Ayat-ayat itu menambahkan tashdiq (pembenaran) mereka.” Wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluun (“Dan kepada Rabbnya lah mereka bertawakal”)
Ibnu `Abbas berkata: “Mereka tidak mengharapkan selain Allah.”
                Mujahid berkata: wajilat quluubuHum (“Gemetarlah hati mereka.”) Artinya, lalu hati mereka menjadi lembut, maksudnya terkejut dan takut. Demikian pula yang dikatakan oleh as-Suddi dan bukan hanya satu orang saja yang mengatakan ini. Inilah sifat seorang mukmin yang benar-benar beriman, yang jika disebut nama Allah, hatinya gemetar, maksudnya takut kepada Allah, lalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Karena inilah Sufyan ats-Tsauri berkata: “Aku mendengar as-Suddi berkata berkenaan dengan firman Allah Ta’ala: innamal mu’minuunal ladziina idzaa dzukirallaaHu wajilat quluubuHum (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,”)
Yaitu, seseorang yang hendak berbuat zhalim.’ Atau ia berkata: “Bermaksud melakukan maksiat, lalu dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kamu kepada Allah,’ maka hatinya menjadi gemetar.”
Firman Allah: wa idzaa tuliyat ‘alaiHim aayaatuHu zaadatHum iimaanan (“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka [karenanya].”) seperti firman Allah yang lain yang artinya:
“Dan apabila diturunkan suatu Surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) Surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka Surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
Imam al-Bukhari dan imam-imam lainnya telah menjadikan ayat dan ayat yang semisal dengannya sebagai dalil yang membuktikan, bahwa iman itu bertambah dan tingkatannya di dalam hati berbeda-beda, sebagaimana pendapat jumhur umat, bahkan yang menceritakan bahwa hal itu telah menjadi ijma’ bukan hanya seorang imam, seperti; Imam asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Abu `Ubaidah, sebagaimana hal ini telah kami jelaskan secara panjang pada awal syarah al-Bukhari, walillaHil hamdu wal minnaH (dan untuk Allahlah segala puji dan karunia).
Wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluun (“Dan kepada Rabblah mereka bertawakkal.”) Maksudnya, mereka tidak mengharap selain Dia, tidak menuju selain kepada-Nya, tidak berlindung kecuali di sisi-Nya, tidak meminta kebutuhan-kebutuhannya kecuali dari-Nya dan tidak mempunyai keinginan kecuali ditujukan kepada-Nya. Mereka pun mengetahui bahwa, apa yang dikehendaki Allah pastilah terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tidaklah terjadi. Dialah yang untuk mengatur kerajaan-Nya, Dialah yang tunggal (Esa) dan tiada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya dan Allah-lah yang Mahacepat hisab (penghitungan)-Nya.
Karena Itulah Sa’id bin jubair berkata: “Tawakkal kepada Allah merupakan himpunan (gabungan) keimanan.”
Dan firman-Nya: alladziina yuqiimuunash shalaata wa mimmaa razaqnaaHum yunfiquun (“[yaitu] orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki Kami berikan kepada mereka.”) Berkenaan dengan firman Allah ini, Muqatil bin Hayyan berkata: “Yang dimaksud dengan menegakkan shalat yaitu menjaganya sesuai dengan waktu-waktunya, menyempurnakan thaharah (kesucian) di dalamnya, menyempurnakan ruku’, sujud dan bacaan al-Qur’an di dalamnya an bertasyahhud (membaca syahadat) dan shalawat untuk Nabi. Inilah makna dari menegakkan shalat.”
Menginfakkan sebagian dari rizki yang Allah berikan kepada mereka mencakup kepada mengeluarkan zakat dan menunaikan hak-hak hamba baik yang wajib atau pun yang sunat.”
Firman-Nya: ulaa-ika Humul mu’minuuna haqqan (“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.”) Maksudnya, orang-orang yang memiliki sifat-sifat inilah orang-orang mukmin yang benar-benar beriman.
`Amr bin Murrah berkata berkenaan dengan firman Allah Ta’ala ini: “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab, (firman Allah ini) seperti ucapanmu: “Si Fulan itu adalah sayyid dalam arti sebenarnya.”
Firman Allah: laHum darajaatun ‘inda rabbiHim (“Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya.”) Maksudnya adalah, tempat-tempat tinggal, kedudukan-kedudukan dan peringkat-peringkat di surga, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah dan Allah Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali= Imran: 163)
Wa maghfiratun (“Dan ampunan.”) Maksudnya, Allah mengampuni keburukan-keburukan mereka dan mensyukuri kebaikan-kebaikan mereka.
Berkenaan dengan firman Allah: laHum darajaatun ‘inda rabbiHim (“Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya.”) adh-Dhahhak berkata: “Penghuni surga sebagian mereka di atas sebagian yang lainnya, sehingga orang yang menempati kedudukan yang lebih tinggi mengetahui keutamaan dan kelebihannya atas orang yang ada di bawahnya, sedangkan orang yang ada di bawahnya tidak mengetahui, bahwasanya ada orang yang lebih diutamakan darinya.”
Oleh karena itu di dalam ash-Shahihain (Kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya penghuni surga Illiyyin (yang lebih tinggi) bisa melihat yang lebih rendah dari mereka, sebagaimana kalian melihat bintang yang tinggi di ufuk langit.” Mereka berkata: “Wahai Rasulallah, itukah tempat tinggal Para Nabi yang tidak bisa dicapai oleh selain mereka?” Rasulullah menjawab: “Benar, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul.”
Ayat ke 97

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)

Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (16: 97)


Ayat ini meski pendek namun memiliki peran penting dalam menggambarkan kehidupan orang-orang Mukmin baik di dunia maupun di akhirat. Pertama-tama, ayat ini menyatakan bahwa iman merupakan tolok ukur keutamaan di sisi Allah Swt. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Mereka sama dalam pandangan Allah. Yang membedakan di antara mereka adalah tingkat keimanan yang mereka miliki. Dalam pandangan Allah, jenis kelamin tidak berpengaruh dalam meraih derajat keimanan, meski utusan Allah atau para nabi adalah laki-laki, namun kenabian ilahi adalah tanggung jawab dan tugas suci yang harus disampaikan ke seluruh umat manusia.

Tugas ini tidak mungkin dibebankan kepada kaum wanita mengingat keterbatasan kapasitas yang mereka miliki. Oleh karena itulah, Allah Swt menunjuk utusan-Nya dari golongan kaum laki-laki, namun untuk meraih derajat keimanan dan religius yang tinggi kaum wanita tidak mendapat batasan. Artinya, mereka juga mampu meraih derajat keimanan yang sempurna, seperti Sayidah Maryam yang berhasil mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Swt, sehingga mendapat pelayanan istimewa berupa hidangan dari langit. Atau Sayidah Fathimah az-Zahra as yang berhasil mencapai derajat keimanan yang tinggi, hingga kedudukannya disamakan dengan Ali bin Abi Thalib as.

Keimanan saja tidak cukup untuk menentukan kesempurnaan dan derajat yang tinggi, namun diperlukan juga amal saleh. Iman dan amal saleh adalah tolok ukur kesempurnaan seseorang. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Amal saleh tidak terbatas pada tindakan tertentu, namun setiap perbuatan yang pada dasarnya memiliki kebaikan dan pelakunya meniatkan kebaikan saat mengerjakannya juga dapat disebut amal saleh, meski perbuatan tersebut sangat remeh dan kecil.

Dalam lanjutannya ayat ini mengatakan, mereka yang beriman dan beramal saleh akan mendapat kehidupan yang bersih di dunia. Mereka bebas dari segala kejelekan dan perbuatan nista. Selain itu Allah Swt menjaga mereka dari segala perbuatan yang menyeleweng dan maksiat. Adapun di akhirat mereka akan mendapat pahala lebih dari apa yang mereka perbuat di dunia. Karena Sunnatullah dalam pembalasan perbuatan maksiat berdasarkan keadilan, namun dalam hal pahala Allah mendahulukan kemurahan dankasih sayang. Dan hal ini telah disinggung dalam ayat ini.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Usia, jenis kelamin, etnis dan kedudukan sosial tidak mendapat perhatian di sisi Allah. Tolok ukur utama di sisi Allah adalah iman dan amal saleh.
2. Orang-orang Kafir tidak memiliki kehidupan yang bersih dan suci di dunia. Sepertinya mereka adalah orang-orang yang mati. Karena kehidupan sejati hanya milik orang-orang beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar